Di negara yang dasar negaranya adalah Pancasila, maka segala aspek dalam kehidupannya haruslah sesuai dengan silai-sila di dalam Pancasila itu.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganeraan(PPKn) merupakan mata kuliah wajib bagi seluruh
mahasiswa di lingkungan Universitas Syiah Kuala dan kiranya juga wajib bagi
seluruh mahasiswa di Indonesia.
Pengelolaan mata kuliah ini tidak menjadi bagian
dari Program Studi (Prodi) maupun Fakultas, melainkan berada di bawah
pengelolaan UPT MKU bersama mata kuliah wajib lainnya. Jika ada pengecualian,
maka hal itu sepertinya hanya berlaku bagi Prodi PPKn di Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan.
Sedangkan bagi Prodi lain, Mata Kuliah (MK) ini
tidak menjadi bagian dari MK Prodi maupun MK Fakultas. Disebut Mata Kuliah
Wajib Umum karena memang sifatnya yang wajib diambil dan diikuti oleh seluruh
mahasiswa, dan materi muatannya yang dipandang umum.
PPKn sendiri disebut sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan yang digunakan sebagai usaha pengembangan dan pelestarian nilai-nilai luhur moral yang sejatinya berakar dari bangsa Indonesia untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dikatakan pula bahwa PPKn ini dapat diartikan sebgai
penyiapan generasi muda (mahasiswa) atau penerus bangsa untuk menjadi warga
negara yang memiliki pengtahuan, kecapakan, nilai, dan moral yang diperlukan
serta menjadi pedoman bagi mereka untuk dapat berpartisipasi aktif di dalam
masyarakat.
Dengan kata lain, pendidikan ini dapat pula disebut
sebagai program pembinaan dan pembekalan bagi warga negara dalam hubungannya
dengan warga negara lainnya, terhadap negara, serta bagaimana perannya dalam
membela negara yang pada gilirannya menjadi warga yang dapat diandalkan oleh bangsa
dan negara.
MKWU PPKn ini diajarkan hingga perguruan tinggi karena berdasarkan Pasal 37 ayat (1) dan (2) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan PPKn ini dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi.
Tujuannya untuk membentuk peserta didik (mahasiswa) menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan, cinta tanah air (nasionalisme) sesuai dengan dan UUD 1945.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 3 Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, PPKn ini dikategorikan sebagai bagian dari kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK).
Jadi, tidak heran jika di Unsyiah MK ini juga
menjadi wajib bagi seluruh mahasiswa, khususnya bagi mahasiswa baru. Dengan mempelajarinya,
semoga semangat cinta tanah air, gotong royong, saling hormat menghormati,
toleransi, dan segala nilai-nilai luhur yang termuat dalam Pancasila kembali
tersulut kobaran semangatnya.
Selain PPKn, ada hal lain yang perlu diutarakan
dalam pengenalan MKWU PPKn ini, yaitu nilai-nilai Keunsyiahan. Ianya merupakan
nilai organisasi yang harus dihayati, dipedomani, diaktualisasikan dalam
kehidupan akademik dan kiranya juga harus diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Nilai-nilai Keunsyiahan itu adalah apa yang dirumuskan
oleh tim perumus yang diklaim sebagai sesuatu yang digali dari keteladanan yang
dimiliki oleh Syiah Abdurrauf As-Singkili yang lebih dikenal dengan Syiah Kuala,
seorang ulama besar yang namanya kemudian disematkan menjadi nama Universitas Syiah
Kuala.
Nilai-nilai yang dirumuskan itu adalah Keislaman, Kejujuran. Keikhlasan, Kebersamaan, Kearifan, Kebijaksanaan, Sopan santun, Moderat, Demokratis, Universal, Kreatif, Idealisme, Kedisiplinan, dan Spotivitas. Kiranya nilai-nilai ini juga memiliki peran yang saling menguatkan dengan tujuan dari PPKn yang tengah kita pelajari ini.
Hanya saja, dalam penjelasan nilai-nilai di atas, aspek penggalian keteladanan dari seorang ulama besar ini tidak dimunculkan.
Nilai
itu dijabarkan dalam bentuk contoh perilaku yang harus dikembangkan, bukan
contoh keteladanan yang otentik ada dalam diri Syeikh Abdurrauf As-Singkili.
Namun bukan berarti nilai-nilai Keunsyiahan itu tidak digali dari sana; penjelasannya saja yang belum penulis temukan dalam Buku Saku Nilai-Nilai Keunsyiahan.
Karenya tentu perlu diambil satu contoh di mana keteladan itu ada pada diri Syeikh Abdurrauf As-Singkili. Di sini penulis ambil Demokratis. Ya, Syiah Kuala adalah sosok yang sangat demokratis. Di eranyalah kepemimpinan Sulthanah mendapat tempat di hati masyarakat.
Bukan tidak ada yang mencoba memfatwakan sebaliknya,
bahwa perempuan haram menjadi pemimpin, namun faktanya fatwa itu tidak
berlaku di masa beliau.
Artinya, apa yang berlaku saat itu adalah sesuatu yang kini masih terus diperjuangkan oleh masyarakat Indonesia, dan kiranya masyarakat dunia.
Gerakan emansi dan kesetaraan gender masih mendapat perlawanan yang sejatinya perlawanan itu bertentangan dengan konstitusi dan hukum yang ada.