![]() |
Sumber: rencongpost.com |
Hukum yang baik adalah yang tidak membeda-bedakan. Namun, ia harus pula melindungi kebebasan berkeyakinan, berpendapat, beragama, serta Hak Asasi Manusia lainnya - Khairil Akbar.
Diberitakan di media-media bahwa
dua orang Budha dicambuk karena berjudi. Pada mesin pencarian google, muncul
laman bertita dari Tempo, Serambi Indonesia (Tribun Aceh), dan media
media-media lainnya.
Tempo menulis dengan judul
"Pertama Kali, Penganut Budha di Aceh Dihukum Cambuk". Lalu judul
berita ini berubah menjadi “Tukang Sabung Ayam Ini di Aceh Dihukum
Cambuk".
Memang judul terbaru jadi lebih netral,
tapi mengapa berubah? Kita sering terkecoh oleh pemberiataan-pemberitaan
demikian. Tapi, ketika judul itu diklik, tidak hanya judul dan konten,
terkadang kita malih dialihkan ke laman yang lain. Banyak orang melakukan hal
demikian.
Dalam tulisan ini, saya tidak
akan mengulas pelanggaran yang tergolong dalam economic crime atau business
crime di atas. Yang menarik di sini adalah “dicambuknya penganut Budha di
Aceh.
Baca juga: Islam di Aceh: Syariat dan Siasat
Kejadian ini akan runyam
sekiranya digoreng oleh media-media tidak bertangung jawab. Akan muncul
reaksi-reaksi pro-kontra yang kurang subtantif. Alhasil, media mendapatkan
untung karena share dan rating, sedangkan pembaca ribut tanpa mengerti
persoalan.
Untuk itulah penulis mencoba
memberi paparan terkait hal ini. Tulisan ini hendak menjawab mengapa non-muslim
di Aceh dapat dicambuk (diberlakukan Qanun Jinayat)?
Saya mencoba menjelaskannya lewat
krtitik terhadap pemberitaan Tempo (tempo.co, 11/3/17). Di situsnya Tempo
menuliskan bahwa di Aceh pernah pula ada non-muslim yang dicambuk.
Artinya, kata "pertama
kali" pada judul yang belum diubah harus dimaknai sebagai “pertama bagi penganut
Budha yang berjudi”. Sedangkan bagi non-muslim yang lain dalam peristiwa lain,
pernah pula hukuman cambuk diberikan.
Adalah seorang perempuan yang
beragama Kristen non-muslim pelaku tindak pidana (jarimah) yang pertama
kali dicambuk di Aceh sebagaimana diterangkan oleh Tempo sendiri. Itu artinya,
kata “pertama kali” harus dibatasi sesuai penjelasan ini.
Kedua, Tempo menuliskan bahwa
Qanun Jinayat hanya berlaku bagi muslim. Namun, bagi pelaku yang non-muslim
dapat memilih hukuman cambuk yang diatur sesuai Qanun atau hukuman yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Hal ini sesuai bila mana suatu
tindak pidana dilakukan bersama-sama antara seorang
atau lebih non-muslim dan seorang atau lebih muslim di Aceh.
Bila pelaku tindak pidana hanya
non-muslim, maka KUHP yang berlaku baginya, kecuali pada perbuatan yang
dianggap sebagai tindak pidana oleh Qanun, namun KUHP tidak melarangnya (Lihat
Pasal 5 Qanun Jinayat huruf (b) dan (c)).
Dalam kondisi kedua ini,
non-muslim harus tunduk agar kegoncangan dan ketidakadilan dapat dihindari. Masyarakat tentu marah sekiranya
non-muslim dibebaskan begitu saja, padahal seorang muslim yang melakukan
perbuatan yang sama harus dipidana.
Itu sebabnya, non-muslim tidak
mungkin dibebaskan karena alasan Qanun Jinayat tidak berlaku bagi mereka.
Seyogyanya pemberlakuan demikian tidak perlu diperdebatkan lagi karena sudah
sangat bijak perumusannya.
Baca juga: Masalah Indepedensi Kejaksaan
Padahal, normalnya, suatu hukum
yang diberlakukan, maka pemberlakuannya tidak akan pandang bulu, tidak akan
membeda-bedakan etnis atau agama tertentu, tidak pula membedakan jenis kelamin
dan warna kulit.
Kita bisa bayangkan bila Qanun
Aceh seluruhnya berlaku normalnya suatu aturan, yaitu juga berlaku bagi
non-muslim tanpa pembedaan, tentu akan ada sorotan yang tajam karena Aceh
menerapkan syariat Islam.
Lumrah kita ketahui bahwa sorotan
ini semata-mata karena ada kata Islam, Syariat, dan yang dianggap serupa
dengannya. Orang-orang tentu protes karena Qanun Aceh memaksa non-muslim untuk
tunduk dan menjalankan syariat Islam.
Tapi, Qanun tidak meminta mereka
menjalankan, melainkan jangan melanggar. Dua istilah ini punya konsekuensi yang
berbeda. Dipaksa menjalankan bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama
yang dijamin oleh UUD.
Sedangkan jangan melanggar
sebenarnya mereka tidak berbuat apa-apa, tidak ada sesuatu yang sifatnya adalah
HAM, lantas dicabut hak itu dari mereka.
Dalam kasus ini (perjudian),
penjelasan pihak Kejaksaan bahwa non-muslim dapat memilih adalah tepat. Hal ini
karena: 1. Mereka melakukan tindak pidana bersamaan dengan muslim di wilayah
hukum Aceh.
2. Tindak pidana tersebut diatur
pula dalam KUHP (Lihat Pasal 303/303 bis). Artinya, tidak boleh non-muslim
pelaku tindak pidana itu dipaksa tunduk pada Qanun berdasarkan Pasal 5 Qanun
Jiayat itu sendiri.
Baca juga: Problem Dasar Qanun Poligami
Mereka tinggal pilih, dihukum
pakai KUHP atau pakai Qanun. Yang tidak mungkin terjadi adalah mereka
dibebaskan sedangkan seorang atau lebih muslim melakukan perbuatan yang sama
harus dicambuk, atau denda, atau dipenjara.
Jadi, cambuk atau secara
keseluruhan adalah Qanun Jinayah baru berlaku kepada non-muslim harus memenuhi
dua syarat, satu karena melakukannya bersamaan dengan pelaku muslim, kedua
karena alpa/kekosongan hukum dalam KUHP.
Syarat pertama menimbulkan
pilihan, sedangkan syarat kedua menimbulkan kewajiban yang konstan dan berlaku
secara otomatis.
Dari pemberitaan Tempo juga
muncul beberapa persoalan. Pertama, setelah tahu bahwa non-muslim dapat memilih
dihukum berdasarkan Qanun atau KUHP, Tempo juga menulisnya demikian, mengapa
pelaku dalam berita itu mengatakan bahwa mereka harus mematuhi peraturan di
wilayah Aceh?
“Dalam proses hukumnya, Alem dan
Amel akan dihukum hukuman penjara sesuai dengan KUHP. Namun keduanya memilih
hukuman cambuk,” tulis Tempo. Tapi pada bagian wawancara, pelaku mengatakan, “Kami
hidup di Aceh, sehingga kami harus mematuhi peraturan di wilayah kami.”
Ini jelas bertentangan. Pelaku
dibilang memilih tunduk pada Qanun di satu sisi, tapi di sisi lain—dalam
wawancara itu—mereka malah terkesan terpaksa karena tinggal di Aceh, dan
dengannya harus tunduk pada hukum yang berlaku di Aceh.
Sesuatu yang kontradiktif seperti
ini harusnya digali kembali. Tapi dari
pemberitaan itu Tempo sepertinya tidak melakukannya.
Berbeda dengan Tempo, berita
lokal di Aceh, Serambi Indonesia (aceh.tribunnews.com, 10/3/17) memberi judul yang
lebih tepat, yaitu “Terlibat Perjudian Pemeluk Budha Ini Memilih Dihukum
Syariat Cambuk”.
Dalam kasus ini, Tribun Aceh
tentu lebih paham persoalan dan memberi judul sebagaimana mestinya. Ya, judul
demikian tentu lebih sesuai dengan aturan yang berlaku.
Terlepas apakah Qanun Jinayat itu
ideal atau tidak. Atau, anggaplah semua orang kontra terhadap Qanun tersebut. Tapi
apakah benar pemberitaan seperti di atas? Secara etik, apakah baik media
berbisnis demikian? Apa sebenarnya yang dicari? Share dan rating? Lalu
mengabaikan kami, konsumen? Semoga bermanfaat.
--
Tulisan ini telah terbit di NusantraNews pada 23 Maret 2017.