Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum (khususnya di
bidang penuntutan) sama sekali tidak disebut oleh konstitusi kita. Penegakan
hukum menurut UUD 1945 hanya dilakukan oleh Kepolisian dan oleh suatu kekuasaan
kehakiman. Hanya saja, di dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman itu terdapat
pasal yang mengisyaratkan terbentukan lembaga lain yang terkait dengan
Kekuasaan Kehakiman. Lembaga itu tentu saja bukan Mahkamah Konstitusi yang
kebetulan terbentuk pasca amandemen ketiga.
Dalam UU tentang Kejaksaan, pada bagian mengingat
(konsideran), Pasal dalam UUD yang dijadikan dasar berbeda-beda. Pada UU
15/1961 yang dijadikan dasar adalah Pasal
5 ayat (1), 20 ayat (1), pasal 24 dan pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar.
Lalu pada UU 5/1991 dasar yang digunakan adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat
(1) Undang-Undang Dasar. Terakhir, UU 16/2004 menjadikan Pasal 20, Pasal 21,
dan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagai dasarnya.
Dari kesemua pasal tersbut
hanya satu pasal yang merujuk kepada pembentukan suatu lembaga, yakni Pasal 24,
tepatnya pada ayat (3) UUD 1945. Hal ini menjelaskan bahwa Kejaksaan merupakan
lembaga atau badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana
disebutkan bahwa, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang”. Pertanyaannya, jika dikaitkan dengan
teori-teori pembagian atau pemisahan kekuasaan, di manakah Kejaksaan itu
berada?
Pertama, mengingat apa yang
dikatakan oleh Montesquieu bahwa, “Di setiap negara, selalu terdapat tiga
cabang kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam struktur pemerintahan, yaitu
kekuasaan legislatif, dan kekuasaan eksekutif yang berhubungan dengan
pembentukan hukum atau undang-undang negara, dan cabang kekuasaan eksekutif
yang berhubungan dengan penerapan hukum sipil. Teori inilah yang relatif
dipakai oleh seluruh negara di dunia dengan beberapa perubahan atau modifikasi.
Indonesia sendiri tidak
menggunakan teori itu sepenuhnya. Sebagai bukti, eksekutif juga diberi
kewenangan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang menurut
Montesquieu kewenangan tersebut merupakan kewenangan ekslusifnya lembaga
legislatif. Sebab, yang dimaksud oleh Montesquie terkait dengan cabang-cabang
kekuasaan tidak lain adalah pemisahan kekuasaan (separation of power).
Sebab, keresahan yang muncul saat itu adalah kekuasaan yang dijalankan oleh
orang atau institusi yang sama. Keadaan ini dapat menimbulkan sebuah hukum dan
kekuasaan yang tirani.
Hal yang tidak dapat dibantah
adalah bahwa Kejaksaan merupakan lembaga negara yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman. Kejaksaan melalui Jaksa dalam sistem peradilan kita bertindak
sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Namun, di
pihak lain Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan.
Yusril Ihza Mahendra (videonya
bisa dilacak di Youtube) mengatakan bahwa pemerintahan (pakai “p” kecil)
merujuk kepada cabang kekuasaan eksekutif yang dikepalai oleh Presiden,
sedangkan Pemerintah (pakai “P” besar) meliputi semua cabang kekuasaan
(eksekutif, yudikatif, dan legislatif). Pendapat ini dikemukakan Yusril untuk
mempertegas kedudukan Kejaksaan dan KPK yang menurutnya berada di bawah atau
bagian dari cabang kekuasaan eksekutif.
Selanjutnya, Jaksa Agung yang
merupakan pejabat negara diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (dalam UU
sebelumnya dan bagian umum penjelasan UU 16/2004 disebutkan bahwa Jaksa Agung
juga bertanggung jawab kepada Presiden). Mahkamah Konstitusi sendiri (meski
tidak khusus berbicara Kejaksaan) sudah memberi putusan terkait hal ini yang
pada pokoknya menjelaskan bahwa fungsi-fungsi penyidikan dan penuntutan
merupakan bagian dari tugas-tugas pemerintahan yang dalam hal ini adalah
kekuasaan eksekutif.
Berdasarkan uraian di atas,
saya lebih cenderung menempatkan Kejaksaan sebagai bagian dari eksekutif
dibanding cabang kekuasaan lainnya. Saya memaknai badan yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagai badan-badan yang menjalankan
fungsi-fungsi kekuasaan apa saja, namun fungsi tersebut berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman. Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tidak lantas
menempatkan suatu badan/lembaga menjadi bagian dari yudikatif.
Hanya saja, berkaitan dengan
kemandirian (kemerdekaan) atau indepedency berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU
16/2004, hal ini tidak menempatkan Kejaksaan sebagai Lembaga Independen yang
terpisah dari kekuasaan eksekutif. Sekiranyapun ada ide ingin menempatkannya
sedemikian rupa, penting dipahami bahwa cabang pemerintahan (kekuasaan) keempat
(The Fourth Branch of Government) biasanya didasarkan atas fakta bahwa lembaga,
atau komisi atau badan negara tertentu menjalankan lebih dari satu bahkan
menjalankan ketiga fungsi pemerintahan sekaligus.
Adapun Kejaksaan, ianya tidak
menjalankan fungsi peradilan maupun fungsi legislasi. Kejaksaan berdasarkan
ulasan di atas hanya menjalankan fungsi-fungsi penyidikan dan penuntutan di
mana fungsi tersebut merupakan bagian dari fungsi-fungsi eksekutif. Lagi pula,
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, setiap fungsi pemerintahan harus
memiliki cantolan, apakah bagian dari kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau
legislatif.
Tri Suhendra Arbani (2018)
menyimpulkan bahwa kekuasaan keeepat yang menjelma menjadi lembaga negara baru
tidak terpisah sama sekali dengan lembaga negara pokok namun tetap merupakan
lembaga pembantu bagi lembaga negara pokok. Hal ini menimbulkan pertanyaan
baru, jika ia merupakan pembantu bagi lembaga negara pokok, mengapa disebut
sebagai cabang kekuasaan keempat? Saya pikir penting untuk diteliti lebih jauh
aspek konstitusionalitas keberadaan cabang kekuasaan keempat ini.
Lantas apa yang dimaksud
dengan “secara merdeka” dalam Pasal 2 ayat (2) UU Kejaksaan? Hal ini tentu
berkaitan dengan tugas, fungsi, dan wewenang Kejaksaan yang harus dilaksanakan
secara merdeka/mandiri. Pada bagian penjelas UU tersebut dijelaskan bahwa, “Yang
dimaksud dengan “secara merdeka” dalam ketentuan ini adalah dalam melaksanakan
fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh kekuasaan lainnya”.
Karenanya, aspek kemandirian
pada kejaksaan hanya meliputi kemandirian fungsional dan personal terbatas.
Sedangkan secara institusional dan finansial, Kejaksaan sama sekali tidak dapat
disamakan dengan lemabaga peradilan lemebaga pokok dari dua cabang kekuasaan
lainnya. Mungkin penting untuk didorong agar aspek kemandirian personal dapat
terjamin dengan membatasi kewenangan Presiden dalam mengangkat dan
memberhentikan Jaksa Agung. Peraturan sedapat mungkin menjamin seorang Jaksa
Agung berani bertindak tanpa khawatir akan dicopot dari jabatannya.
Dibanding mewakili pemerintah,
Kejaksaan yang ideal menurut saya adalah lembaga yang lebih mewakili
kepentingan masyarakat dan/atau kepentingan lain yang sedang diwakilkannya
berdasarkan kasus-kasus tindak pidana yang sedang dihadapi. Kejaksaan harus
lebih peka terhadap rasa keadilan korban yang sekiranya tidak demikian,
alangkah baiknya korban memilih sendiri siapa yang menjadi advokatnya di
peradilan.