![]() |
Sumber: analisaaceh |
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari Islam
di Aceh: Syariat dan Siasat yang terbit pada 13 Juni 2020. Artinya, diskusi ini
merupakan bagian dari diskusi yang diselenggarakan oleh IMM Komisariat Unsyiah
beberapa bulan lalu. Hanya saja, kali ini saya fokuskan pada masalah syariat
Islam dan kaitannya dengan toleransi di Aceh.
Konteks Sejarah
Terkait dengan intoleransi,
sebenarnya Aceh punya sejarahnya sendiri. Adalah yang paling masyhur pertikaian
antara Nurudin ar-Raniry dengan Hamzah al-Fansuri dan Syasuddin al-Sumatrani.
Pertikaian ini menyasar pengikut paham wahdatul-wujud yang konon menelan korban dan
pembakaran karya-karya yang terkait dengannya.
Meski tidak hidup semasa, konon Nuruddin kerap
melayangkan kritik bahkan melabeli wahdatul wujud-nya Hamzah al-Fansuri
dan muridnya, Syamsuddin al-Sumatrani sebagai ajaran, paham, atau aliran sesat.
Menurut Miswari, label ini sudah ada sebelum Nuruddin mempelajari paham wujudiyahnya
Hamzah al-Fansuri yang sebenarnya lebih sederhana.
Miswari mengatakan, analogi yang diberikan oleh Hamzah
al-Fansuri sangat dekat dengan kehidupan masyarakat yang karenanya sangat mudah
dipahami. Anehnya, Ibnu ‘Arabi yang lebih sukar malah dikagumi oleh Nuruddin,
sedangkan Hamzah al-Fansuri malah dilabeli sesat. Memang, Nuruddin nyaris menyesatkan
seluruh pengikut paham Ibnu ‘Arabi, meski Ibnu ‘Arabi sendiri ia kagumi (Lihat Hamzah
Fansuri dan Konteks Analogi Wahdatul Wujud).
Konteks Sekarang
Untuk konteks hari ini, pertikaian yang paling keras
adalah antara Aswaja dan Salafi/Wahabi. Mereka yang menentang Salafi/Wahabi ini
secara terang mengatasnamakan diri mereka dengan Ahlu al-Sunnah wa
al-Jama’ah atau Aswaja. Sedangkan yang mereka tuduh sebagai Salafi atau
Wahabi tidak pernah menyebut diri mereka sebagai Salafi maupun Wahabi.
Baca juga: Islam di Aceh: Syariat dan Siasat
Kelompok yang beberapa kali dibubarkan pengajiannya
ini lebih senang menyebut bahwa mereka adalah umat Islam yang paham keagamannya
mengikuti manhaj salaf. Salaf sendiri diartikan olehnya sebagai
orang-orang terdahulu, yakni para sahabat. Secara etimologis, salaf sendiri
berarti kuno, klasik, lampau, lawan dari kata modern.
Disebut ulama salaf maksudnya ulama pada
periode lampau. Sedangkan ulama periode belakangan disebut ulama khalaf. Namun,
cara beragama demikian memang menjadi model tersendiri yang biasanya dipertentangkan
dengan syiah secara universal, namun juga dihadapkan dengan komunitas sunni
atau Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah.
Pertikaian lainnya adalah antara
Aswaja dan Muhammadiyah yang katanya sama saja dengan Wahabi—karenanya dianggap sesat, dan terakhir—jika dapat dikatakan
konflik—adalah antara MPU
(khususnya Aceh Utara) dan/atau Tastafi dengan MPTT. Konflik-konflik lain boleh jadi ada,
namun ketiga konflik internal umat Islam inilah yang dominan.
Perselisihan antara Aswaja - Wahabi belakangan ini berujung pada pembubaran
pengajian, pengambilalihan kepengurusan masjid, dan penggantian tata laksana ibadah di masjid tersebut. Sedangkan perselisihan Aswaja
- Muhammadiyah akhir-akhir ini berujung pada penghalangan pembangunan masjid dan
sempat terjadi pembakaran pondasi masjid.
Adapun konflik MPU dan MPTT bermula pada
ajaran Syaikh Amran Waly (MPTT) yang dituduh sesat (meresahkan). Tentu fatwa
itu membuat berang pengikutnya dan berujung pada pembakaran karya Alm. Syaikh
Jamaluddin Waly (abang Syaikh Amran Waly) yang diklaim telah menjelek-jelekkan
pendapat Abdul Karim al-Jilli.
Terkait hal ini, Abu Tumin
sebagaimana disampaikan oleh Tgk. Luthfi Arongan (Sekjen Tastafi) dan dimuat
dalam media daring liputanaceh.com (17/12/17) merespon dengan mengatakan bahwa tidak ada
ulama-ulama Aceh
terdahulu yang mengajarkan kitab "Insan Kamil". Respon ini tentu
mengisyaratkan ketidakcocokan antara MPU dan/atau Tastafi dengan MPTT.
Tidak hanya antar golongan dalam Islam, antara Islam dan agama lain di
Aceh (khususnya Kristen/Katolik) juga pernah berkonflik. Meski secara umum dapat
dikatakan baik, bukan berarti konflik agama tidak ada di Aceh. Di Singkil pernah terjadi
pembakaran Gereja. Dan kasus itu bukan yang pertama dan satu-satunya.
Alasannya klasik; gereja itu
tidak berizin. Tentu alasan serupa bisa dipakai oleh agama lain untuk penolakan
serupa. Di Aceh, sepanjang amatan saya,
Kuta Cane (Aceh Tenggara) adalah yang terbaik dalam hal toleransi antar umat
beragama. Di sana, gereja dan masjid bisa berdekatan dan bersaing jumlahnya.
Baca juga: Aswaja Vs Wahabi di Aceh
Sedang di daerah Aceh lainnya,
gereja juga ada, tapi, selain satu dua jumlahnya, pelaksanaan ibadahnya
cenderung tertutup. Tidak pernah kita temukan perayaan agama lain di Aceh
kecuali di dalam rumah ibadah mereka sendiri.
Diskon di mall juga tidak pernah
berlaku selain di hari-hari besar Islam dan Indonesia. Spanduk, baliho, dan
semisalnya nyaris tidak pernah terpajang dan mewarnai perayaan agama Kristen, Katolik dan agama lain di Aceh pada umumnya.
Berbeda halnya di Aceh bagian
Tenggara. Di sana kita bisa menemukan sekolah yang guru-guru muslim mengajari
putra/putri non-muslim, begitupun sebaliknya. Satu keluarga bisa berbeda agama
karena perkawinan dan alasan lainnya. Di sana, satu desa bisa muslim semua penduduknya atau
campuran dari keudanya; bisa juga Kristen seluruhnya.
Bahkan, bisa dikatakan, anggota
dewan non-muslim adanya ya cuma di Aceh Tenggara. Di Aceh lain, jangankan
terpilih, jika ada yang mencalonkan diri sudah tentu dipersoalkan sebelumnya.
Hal ini karena umat Islam adalah mayoritas di Aceh. Berbeda dengan Aceh Tenggara, Kabupaten
ini terbilang sangat majemuk dan plural.
Baca juga: Problem Dasar dari Qanun Poligami
Relasi Islam dan agama lainnya di Aceh sangat bergantung
daerah dan kemajemukan warganya. Secara umum dapat disebut baik karena memang
agama lain cenderung diam dan adem-ayem. Tidak pernah kita dengar mereka memprotes
kebijakan-kebijakan syariat yang secara nyata juga diberlakukan kepada mereka
dalam konteks tertentu.
Terakhir, untuk memotret level toleransi
di Aceh dapat pula kita selami lewat kanun-kanun yang dihasilkan oleh DPR Aceh
atau DPR Kabupaten/Kota di Aceh. Sebagai contoh, di Aceh, nonmuslim tetap
diberlakukan kanun jinayah jika KUHP dan UU pidana di luar KUHP luput
mengaturnya, atau karena alasan menundukkan diri yang hanya boleh dilakukan
jika kejahatan dilakukan bersama seorang muslim atau lebih.
Sedangkan dalam kanun lainnya, seorang
muslim dilarang pindah agama yang jika dilakukan akan dikenai pidana. Tidak
sebaliknya, nonmuslim dapat kapan saja masuk Islam dan tidak akan ada hukum
negara yang dapat menjerat, terlebih memidananya. Bagian ini juga sudah saya
singgung pada tulisan sebelumnya. Boleh jadi, beberapa narasi inilah yang
menjadi faktor rendahnya indeks kerukunan umat bergama di Aceh.
Note:
Tulisan ini telah terbit di Qureta.com pada 16 Juni 2020.
Tulisan ini telah terbit di Qureta.com pada 16 Juni 2020.