![]() |
Sumber: Tribun News |
Emang
kenapa jika memiliki pendidikan tinggi tapi menjual ikan? Salah sekiranya
kuliah tinggi lalu jadi petani? Apakah harus yang kuliah tinggi bekerja di
kantor yang kamu maksudkan? “Apa juga kuliah tinggi”, “Apa juga sarjana”, “Katanya
belajar itu investasi”, dan banyak lagi sindiran-sindiran lainnya sering keluar
dari mereka yang terlalu sederhana cara berpikirnya. Begini, belajar itu
investasi jangka panjang. Butuh sekurangnya 16 tahun untuk level sarjana, 18
tahun strata dua, dan 21 tahun untuk jenjang doktoral. Tapi itu hanya
jenjang-jenjang formal. Investasi sesungguhnya justru seumur hidup di mana
keuntungannya bisa dinikmati di setiap prosesnya.
Ketika
kamu berkata, “percuma sekolah tinggi kalau tetap miskin”, itu sama
halnya kamu menganggap rezeki dan belajar sebagai dua hal yang sepaket. Padahal tidak selalu demikian. Dalam ucapan demikian tersirat makna bahwa pendidikan
sebagai investasi yang kau asumsikan adalah sejumlah uang yang sudah
dikeluarkan untuk pendidikan. Harapannya, jika jenjang pendidikanmu tinggi, maka kekayaanmu harus meningkat. Pendidikan
menjadi tolak ukur rezeki menurutmu. Kamu sungguh telah salah paham dalam hal
ini.
Memang
benar bahwa di antara mereka yang berpendidikan tinggi, ada orang yang menjadi
kaya karena pendidikannya. Tapi, itu hanya satu fakta. Fakta lain, ada pula
yang tetap miskin dan ada yang memilih hidup sederhana. Mereka-mereka ini tahu
harus bagaimana atau dengan kata lain, mereka tahu cara memaknai hidup mereka.
Kaya dalam definisi kebanyakan orang bukanlah definisi yang mereka setujui
begitu saja. Atau, sekiranya mereka setuju, tapi bukan berarti mereka
mengganggap pendidikan sebagai eskalator yang pasti menghantarkan mereka menjadi
kaya.
Sebenarnya,
kaya miskin itu adalah soal rezeki. Rezeki dan ilmu terkadang berkaitan, tapi
sebenarnya ia punya konsepnya sendiri. Nah, yang paling relevan dengan
peningkatan rezeki adalah usaha. Tingkat usaha menunjukkan tingkat kekayaan. Adapaun
ilmu yang diperoleh dari belajar, ia hanya menjadi faktor pendukung bahkan terkadang
sama sekali tidak berpengaruh. Ada konsep rezeki yang kelihatannya saling
bertentangan, tapi keduanya menjadi konsep yang diterima dalam ajaran Islam.
Pertama, rezeki diyakini sebagai pemberian Allah yang sudah ditentukan.
Sedangkan kedua, rezeki juga bergantung pada usaha manusia. Kedua hal ini
disebut sebagai ketentuan atau ketetapan Allah.
Kedunaya
terlihat paradoks karena Allah telah menetapkan satu hal, tapi pada saat yang
bersamaan ada ketetapan lainnya yang Ia serahkan kepada hambaNya. Padahal ketetapan
itu masih berkenaan dengan satu hal saja, yaitu rezeki. Wajar sekiranya dahulu
sudah dipertanyakan, sebenarnya, apakah manusia bisa kaya dengan usahanya, atau
ia hanya akan mengikuti takdir Tuhan atas dirinya. Dua hal ini kalau harus dipertentangkan,
maka ia jelas berseberangan. Karenanya, umat jadi terbagi ke beberapa golongan
kala itu. Tapi, bila dilihat dari bi atau multi-dimensi, ada penjelasan lain
yang tersaji di sana.
Dimensi
yang harus dilakukan dan diupayakan manusia adalah usaha mendapatkan dan
membagi rezekinya. Dimensi ini terlihat dapat dapat dimengerti lewat
perintah-perintah dan larangan yang digariskan oleh Tuhan atau Pemerintah lewat
aturan-aturan. Sedangkan dimensi lain, manusia harus meyakini bahwa rezeki
tersebut dari Tuhan asal muasalnya. Bagaimanapun, semua ini memang milik Allah
yang sudah Ia tahu berapa jumlahnya buat si A, si B, dan seterusnya. Dimensi ini
disebut keyakinan yang dengannya kita tidak perlu terkejut bila tiba-tiba
rezeki itu hilang, atau justru bertubi-tubi datangnya. Kenapa? Jawabnya karena
Tuhan bisa melakukan sekehendakNya. Meskipun demikian, Tuhan itu Maha Adil lagi
Maha Bijaksana.
Keyakinan
itu juga membuat kita tidak perlu heran sekiranya seorang kaya mati duluan
sedangkan harta yang dimilikinya belum habis dinikmatinya. Karena, selain yang
tampak harus berjalan sesuai logika manusia, ada hal lain yang tidak tampak dan
menjadi pengetahuan Tuhan. Ia mengatakan bahwa ada harta/hak orang lain dalam
harta kita. Boleh jadi, apa yang kita peroleh sejatinya memang bukan punya
kita. Itu sebabnya tidak sempat harta itu habis, seseorang bisa saja mati
terlebih dahulu. Tidak ada kewajiban untuk mengetahui takdir Allah, bahkan kita
tidak akan mengetahuinya kecuali yang Ia ajarkan kepada kita.
Apa
hubungannya dengan pendidikan yang kita bicarakan tadi? Penjelasan ini untuk
membantah pikiran yang memandang percuma berpendidikan tinggi tapi tidak kaya.
Selain kaya itu bermacam sisinya, kekayaan harta itu sendiri bukan termasuk
dalam makna belajar sebagai investasi. Islam menetapkan belajar sebagai
kewajiban di samping mencari rezeki sebagai kewajiban lainnya. jadi, bukan
dengan belajar, semuanya beres. Keuntungan dari pendidikan itu sendiri bukan
untuk memperoleh kekayaan harta. Keuntungannya terletak pada perubahan perilaku
di mana arahnya akan meninggikan manusia ke puncak kemuliaan. Allahu a’lam bi
al-shawaf.