Dia gadis berpendidikan. Sejak lulus SMA,
dia memang tidak akan langsung menikah. Dia lelah dengan realita, baik dalam
keluarga maupun masyarakat di desanya. Tapi bukan berarti dia anti sosial. Dia
sadar betapa manusia bukan hewan ataupun dewa. Manusia adalah makhluk yang
saling membutuhkan. Pernyataan ini cukup masuk akal menurutnya. Diapun telah
membuktikannya. Di rumah, sehari saja tidak ada orang, papa dan mamanya pergi
ke luar kota misalnya, ia pasti akan menghubungi kawan atau tetangganya untuk
kemudian memintanya menginap di rumah.
Sempat berpikir menghubungi beberapa pria
yang ditaksirnya di sekolah. Tapi, dia tidak mau diarak keliling kampung atau
dicambuk di depan umum. Itu tentu membuat papa dan mamanya murka
semurka-murkanya. Jangankan tidur serumah dengan pria, diantar pulang oleh
seorang pria saja nyaris tidak pernah. Sekali ia dibonceng oleh pria, itupun
tidak lain adalah sepupunya sendiri. Memang, pernah terlintas pula dipikirannya
untuk memacari sepupunya itu. Tapi, melihat betapa banyak perempuan yang dipermainkan
oleh sepupunya, ia jadi ilfeel. Kenapa tidak dibuat untuk
bersenang-senang saja? Itu dia masalahnya. Di tengah menggebunya hasrat bercumbu
atau bermesra ria, ia masih mendamba kisah cinta sejati. Anehnya, dia sendiri
bingung menjelaskan, seperti apa cinta sejati itu.
Yang ia tahu persis adalah, setiap orang
harus menghormati norma tertentu. Suatu hubungan yang bertentangan dengan
norma, atas nama cinta sekalipun, akan ada sanksinya. Norma-norma itu yang
kerap menghantui pikirannya. Dibanding sanksi akhirat, dia justru lebih takut
dengan ancaman dunia. Dia takut dipermalukan di depan umum. Dia juga merasa
tidak sanggup menahan cambukan algojo di arena eksekusi. Ah, andai saja ancaman
semacam itu tidak ada, pikirnya, ia akan melakukan apapun demi hasratnya itu. Itu
sebabnya, ia sangat ingin tinggal di wilayah yang meniadakan norma-norma sperti
itu. Aturan, menurutnya, tidak boleh masuk dan merenggut hak asasi individu.
Justru, hukum harus melindunginya.
Pernah terlintas pertanyaan, kenapa tidak
nikah saja? Masalahnya, nikah yang ada dalam pikirannya adalah hambatan yang
dengannya seorang perempuan harus rela terkunci di dalam rumah. Jika boleh
berkiprah di luar rumah, seorang perempuan tetap saja harus berada dalam
jangkauan suami. Segala sesuatu harus lewat izin suami. Bahkan ia pernah
mendengar seorang ustadz menjelaskan bahwa seorang istri sangat mudah masuk
syurga, yaitu dengan taat pada suami. Ustadz itu juga bilang, jika orang tua di
rumah sakit, seorang istri tidak mendapat ijin pulang menjenguk orang tuanya,
maka ia haram menjenguk orang tua yang telah melahirkannya. Lalu, untuk apa
menikah?
Sejak lama pikiran bebas itu menguasai
dirinya, tapi, belum sekalipun ia melakukan hal-hal yang melanggar norma. Mungkin,
itu karena ia masih tinggal bersama orang tua. Ketika ia pergi merantau untuk
kuliah, ia berpikir akan menjadi perempuan bebas sebebas pikirannya itu. Ia lupa
bahwa pikiran hanyalah alam idealita, sedangkan realita adalah tiruan tak
sempurna dari idealita tersebut. Itu artinya, bagaimanapun pikiran itu terbang
bebas, tapi dalam kehidupan ia akan tetap terikat oleh norma-norma. Di
kampusnya, ia jutsru harus memakai baju yang sering disebut sebaga ‘lebih syari’i’
atau ‘lebih islami’. Sepertinya, celana yang masih dimilikinya hanyalah celana
tidur. Selebihnya sudah tidak terpakai dan tidak pernah pula dibelinya lagi.
Parahnya lagi, ia malah lebih sering ikut
pengajian dibanding touring ke sana ke mari. Kumpul bersama teman
laki-laki di warung kopi nyatanya tidak membuatnya begitu nyaman. Paasalnya,
hampir semua temannya yang doyan ngopi, pasti suka merokok. Nah, untuk barang
yang satu ini, ia memang tidak suka. Tidak hanya rokok, semua hal yang merusak dan
terbukti secara ilmiah tentu akan ia hindari. Sampai di sini, ia nyatanya telah
menetapkan satu norma, yaitu larangan merokok. Lalu, apakah ada kebebasan
sesungguhnya? Ia terus mencari jawaban atas keinginannya itu. Satu hal yang
tetap bersemayam dalam dirinya adalah keinginan untuk hidup bebas sebebas
pikirannya.
Dua tahun yang lalu adalah kelulusannya
dari kuliah yang malah membuatnya semakin terlihat seperti akhwat atau hijaber
pada umumnya. Selama kuliah, ia tidak pernah ada masalah dengan
keluarganya. Bahkan, ia dikira sudah menjadi anak idaman yang shalihah, rajin
menabung, dan penurut. Selalu saja ia dijadikan contoh bagi banyak anak gadis
di kampungnya. Tapi, saat anak-anak gadis itu bertanya, ‘kenapa aku tidak
kuliah?’, orang tua mereka malah tidak menjadikan sisi ini menjadi sisi yang
patut dicontoh. Terlebih dari sisi karir, orang tua mereka hanya ingin anak
gadis yang dapat pria pekerja keras, bukan anak perempuan yang bekerja.
Pernah beberapa teman bercerita kepadanya
tentang komentar orang tua mereka kepada dirinya. Kata orang tua mereka, ia
tidak menikah hingga kini karena pendidikan yang sebetulnya belum terlalu
tinggi. Ia masih lulusan S1. Di luar sana, ada teman-temannya yang nyaris
menyelesaikan S2 dan mau nyambung ke jenjang berikutnya. Bukan masalah belum
menikah yang dipikirkannya. Sejauh ini ia justru menikmati keadannya sebagai
pekerja sosial. Tapi, yang paling menyesakkan adalah orang tuanya kini turut
mempermasalahkan status lajangnya itu. Akhirnya, ia sedikit melunak. Ia menetapkan
syarat tertentu. Tujuannya agar tidak ada pria yang mau. Tapi, semua syarat
yang diajukannya itu ustru ada pada diri Rei. “Kenapa kisahku malah seperti
Kartini?,” gumamnya. “Apakah aku juga akan mati tidak lama setelah pernikahan
ini?”
Dia tidak pacaran, tidak tunangan, tidak
pula ta’aruf dalam kacamata kebanyakan orang. Ia malah meminta Rei
bertemu di suatu Cafe. Dengan begitu, ia berpikir Rei tidak akan datang. Soalnya,
menurut orang tuanya, Rei adalah anak dari sahabat ayahnya di dayah (pondok
tradisional) dahulu. Kini, ayahnya Rei dikenal sebagai Ulama berpengaruh di
desanya. Tentu, darah seorang Ulama yang mengalir di diri Rei akan menghalangi kakinya
masuk ke lokasi Cafe. Sayangnya, itu hanya asumsinya belaka. Rei datang tepat
waktu dan memesan kopi hitam. Ia perhatikan dengan seksama perilaku Rei. Rei
terlihat biasa, santai, cuma terlalu rapi dengan blazer hitamnya.
“Kamu kok tidak seperti yang ada di foto?”
tanya Rei membuka percakapan.
“Kamu dapat dari mana fotoku?”
“Untuk seorang aktifis, kamu bahkan pernah
muncul di beberapa media.”
“Oooh. Kebetulan saja lensa kamera
wartawan hanya menangkap sisiku yang itu. Mungkin menarik kali bagi mereka
bahwa ada seorang hijaber turun ke masyarakat, ikut beberapa aksi,
berorasi, bernyanyi, dan tidak risih berada di kerumunan para lelaki,”
“Emang kamu sebenarnya seperti apa?”
“Ya seperti itu, sih. Cuma, pakaianku terkadang
seperti yang kamu lihat sekarang ini: celana jeans, kaos oblong, dan
berjilbab. Kamu sendiri, kenapa mau ke Cafe?”
“Apa ada yang salah dengan Cafe?”
“Ya nggak tahu. Aku sih tidak. Tapi, kamu
kan anak dayah,”
Rei memperhatikannya, seolah menangkap
apa yang ada dipikirannya. Belum sempat dirinya mengklarifikasi, Rei memotong. “Pertama,
tidak semua dayah itu sama. Kedua, tidak semua lulusan dayah yang
sama adalah sama. Ketiga, anak dan ayah juga belum tentu sama. Aku tahu maksud
pertanyaanmu. Dan kupikir, kita berada dalam kondisi yang sama. Kita tidak
seperti kebanyak orang,”
“Apa jaminannya?”
“Kamu datang dengan pakaian yang tidak
seperti biasanya. Aku datang ke Cafe yang kamu pikir akan jarang dikunjungi
oleh orang sepertiku. Bukankah itu artinya kita sama aja?”
Tidak butuh waktu lama,
mereka malah saling melontarkan pertanyaan. Tidak ada kecanggungan sama sekali.
Sikap antipati yang awalnya diperlihatkannya malah berubah begitu saja. Mereka
jadi antusias dan saling mendengarkan. Pertanyaan yang terkesan semakin serius
sebenarnya bukan karena canggung, melainkan karena keduanya tidak suka dengan
pembahasan ala-ala orang yang sedang dimabuk cinta. Mereka nyatanya memang
tidak saling jatuh cinta.
“Apa kamu setuju dengan ide kebebasan?
Sederhananya, seperti apa aku jika jadi istrimu?”
“Kamu adalah kamu. Kebetulan kamu
istriku. Ada yang boleh dilakukan yang sebelumnya dilarang. Ada pula hal yang
tetap tidak boleh dilakukan bahkan setelah kamu jadi istriku,”
“Tentang kewajiban mentaatimu?”
“Yang dita’ati itu Tuhan. Sumai yang dita’ati
adalah suami yang perintahnya sesuai dengan perintah Tuhan,”
“Apa kamu melewatkan bab tentang
kewajiban istri kepada suami dalam pengajianmu?”
“Jelaskan, bagian mana yang ku lewatkan,”
“Aku justru setuju denganmu. Hanya saja,
penjelesanmu tidak seperti penjelasan kebanyakan orang, he he he.”
Dia
dan Rei tertawa. Tidak tahu karena apa. Cuma, beberapa kesimpulan malah memcocokkan pikiran mereka. Lumayan dalam pembahasan mereka. Dari soal relasi perempuan dan lelaki, hingga sampai soal politik, hukum, pendidikan, dan hal lainnya. Tanpa sadar, pertemuan itu membuat Rei dan dirinya harus pulang larut malam. "Bagaimana dengan perempuan yang pulang malam," tanyanya ke Rei. Rei tersenyum, lalu berkata, "Bukankah aku juga pulang malam?." Mereka tertawa. Seraya beranjak ke parkiran, Rei mempersilakan dirinya pulang terlebih dahulu.
Hanya satu minggu dari
pertemuan itu, Rei menikahinya. Rei menerimanya sebagai istri tanpa cinta. Sama
dengan Rei, dirinya juga menerima Rei hanya karena yakin bahwa Rei adalah pria
yang baik. Pernikahan yang terlihat sempurna itu memang tidak ada paksaan sama
sekali di dalamnya, tapi nyatanya malah tidak dilengkapi oleh cinta. Lalu untuk
apa ratusan ucapan selamat itu? Untuk apa dirinya dan Rei menikah? Yang pasti,
mereka melakukannya karena tidak menemukan alasan sebaliknya. Rei dan dirinya
sama-sama ingin bebas. Apakah pernikahan ini hanya untuk membebaskan diri dari
pertanyaan-pertanyaan di sekeliling mereka? Biarlah waktu yang menjawab. Mereka
hanya melakukan apa yang mereka mau. Hanya itu.