![]() |
Sumber: https://hot.detik.com/ |
Jika kita telusuri beberapa hadits soal iman, kita
akan menemukan begitu banyak bagian-bagian dari iman itu. Sebut saja di
antaranya adalah kebersihan, memuliakan tamu, memuliakan tetangga, dan cinta.
Artinya, bila bagian-bagian itu belum lengkap, maka belum sempurna iman
seseorang.
Yang menarik di sini adalah cinta. Dua hadits pembuka
di atas menyebut cinta (dalam bentuk kata kerja) sebagai indikator beriman
tidaknya seseorang. Lebih tepatnya, cinta--sebagaimana bagian-bagian iman
lainnya--diposisikan sebagai tolak ukur keimanan, sedangkan iman menjadi
penentu masuk syurganya seseorang.
Jika demikian, tidak berlebih bila cinta yang
tergolong dalam bagian iman adalah bagian penting dalam persoalan agama. Yang
hendak dikatakan di sini adalah, karena sebab cinta itu persoalan agama, maka
berlaku prinsip dasar agama baginya, yaitu tiada pemaksaan dalam agama.
Begitulah sebaiknya seluruh soalan agama yang hendaknya dilakukan karena
kesadaran penuh bahwa kita butuh padanya.
Mungkin pandangan ini agaknya lemah sekali. Secara
dalil, penentang pandangan ini akan berkata bahwa ayat itu berkenaan dengan
perkara memasukkan orang dalam Islam. Masuk Islam, kata mereka, tidak boleh
seseorang itu dipaksa. Tapi, bila ia sudah berIslam, aturan agama berlaku
secara penuh baginya. Sebenarnya, secara bahasa, teks ayat itu terbuka
penafsiran yang lebih luas dari sekadar masuk Islam.
Tidak ada pemaksaan dalam agama bisa jadi bermakna
tidak boleh seseorang dipaksa masuk Islam, juga tidak boleh seseorang dipaksa
menjalankan perintah agama (ibadah). Pada makna kedua ini, sengaja dibatasi
sebab yang lebih tepat untuk ditiadakan pemaksaan adalah ibadah. Sebab ibadah
adalah istilah lain dari agama dalam arti sempit. Ibadah juga menyangkut
hubungan privasi hamba dengan Tuhannya secara vertikal.
Kembali ke persoalan semula, cinta sebenarnya memang
bukan sesuatu yang dapat dipaksa. Persoalannya, apakah sarana aktualisasi cinta
dapat dipaksakan? Sederhananya, apakah nikah boleh karena paksaan? Bagi
laki-laki kiranya semua pandangan sepakat bahwa seorang lelaki tidak boleh
dipaksa. Laki-laki boleh menentukan calon pasangannya.
Ketika kita hadapkan bagi perempuan, maka di sana ada
pandangan, kiranya mayoritas mengatakan demikian, bahwa perempuan boleh
dipaksa. Tapi, alasan-alasan rasional yang diutarakan adalah bahwa perempuan
harus ada wali. Siapapun yang berwali, maka walinyalah yang menentukan. Selain
itu, selalu pula kita dengar, mana mungkin seorang ayah (wali) menginginkan
yang buruk bagi anak perempuannya. Menurut prinsip kesetaraan dan kesamaan,
tentu pandangan ini tertolak.
Jika kita kembalikan pada kaidah yang menerangkan
bahwa apa-apa yang wajib, maka sarana yang mengantarkan pada kewajiban itu
menjadi wajib hukumnya. Sebaliknya, apapun yang haram, maka sarana yang
mengantarkan pada keharaman itu menjadi haram hukumnya. Nah, nikah adalah
sarana aktualisasi cinta dua hamba yang berlainan jenis. Bila cinta tidak bisa
dipaksa, bagaimana mungkin sarananya boleh ada pemaksaan?
Tapi, tidak akan diperdebatkan masalah ini lebih dalam
karena bukan itu yang hendak diulas. Yang terpenting justru adalah tujuan
pernikahan itu sendiri. Kita dapat katakan bahwa nikah adalah ibadah yang
dengannya semoga tentram kedua belah pihak dan saling berkasih sayang serta
mawaddah keluarga mereka. Tapi bagaimana mungkin bisa tercapai itu semua bila
di antara mereka ada yang dipaksa hatinya?
Bila mengikuti istilah-istilah kitab, konklusi yang
dapat ditarik dari bahasan ini bisa dibahasakan sebagai berikut:
Al-nikahu huwa wasilatu li al-hubbi. Wa al-hubbu huwa
amrun min al-umuri al-diniyati. Haitsu la ikraha fi al-din, fa kadzalika fi
al-hubbi wa wasilatihi (al-nikahi).
Terjemahan:
Nikah adalah perantara bagi cinta. Sedangkan cinta
adalah satu perkara dari perkara-perkara agama. Karena tidak ada pemaksaan
dalam agama, maka demikian pula dalam cinta dan sarananya (nikah).
Sekalipun tidak bisa diterima sebagai syarat atau
rukun, cinta tetap menjadi penting dalam pernikahan. Sebaiknya, perempuan
sekalipun, harus ditanya kesediannya. Ditanya haruslah benar-benar ditanya,
bukan seremoni belaka. Sebab, sering kita jumpai keadaan di mana wali
mengabaikan jawaban anak perempuannya. Nah, bagaimanapun, nikah karena saling
mencintai tetap lebih baik bukan? Mengapa ribet dengan hukum tentangnya?
Berpikirlah!
Note:
Tulisan ini hanya pendapat yang didasarkan pada
kebebasan mengutarakannya. Penggunaan bahasa Arab yang tidak tepat mohon
dimaklumi karena penulis bukan orang Arab, bukan pula sarjana bahasa Arab.
#TiadaPemaksaandalamCinta #Cinta #Agama #Nikah #Iman #Kesadaran#KasihSayang #Mawaddah #Sakinah #Jodoh #Kesamaan #Kesetaraan