Dalam cinta, rasa ingin memiliki terkadang muncul
menjadi bagian darinya. Namun, cinta dan rasa ingin memiliki tetap saja dua hal
yang berbeda. Sekalipun seseorang punya dua rasa itu secara bersamaan, tapi
tidak lantas menganggapnya sama, terlebih bila ia merendahkan orang-orang yang
mampu merelakan/melepaskan sebagai "orang tanpa cinta."
Bahkan, dalam tingkatan tertentu, merelakan bisa jadi
lebih tinggi kadar cintanya dibanding rasa ingin memiliki dan tidak bisa
melepaskan. Tuhan mengatakan bahwa orang-orang yang beriman itu senantiasa
menyadari bahwa semuanya milik Allah dan akan kembali kepadaNya.
Kesadaran demikian adalah istilah lain dari merelakan,
bahwa orang-orang yang beriman adalah mereka yang mampu mengikhlaskan apapun
yang pergi darinya. Di pihak lain, ia juga meyakini bahwa keadaan demikian
boleh jadi lebih baik baginya. Allah pun berkata bahwa apa-apa yang
dihapus/diambilNya akan Ia ganti dengan yang lebih baik. Itu sebabnya mengapa
keyakinan dan cinta terletak pada kekuatan merelakan, walau terkadang juga
terwujud dalam usaha ingin memiliki.
Memiliki dan merelakan dengan begitu dapat kita sebut
sebagai bagian dari rasa cinta yang begitu luas cakupannya. Sangkin luasnya,
hukuman bisa menjadi bukti dari kecintaan itu. Namun, bagian-bagian itu bukan
satu-satunya faktor, dan bukan pula faktor yang menegasikan faktor-faktor
lainnya. Artinya, seseorang boleh jadi mencintai dengan merelakan, tapi, tanpa
dipungkiri, ada pula yang cintanya justru terletak pada rasa ingin memiliki.
Dan cinta dalam bahasan ini sebenarnya masih bagian
kecil dari hakikat cinta itu sendiri, yaitu hanya satu bagiannya saja. Cinta
dalam status ini hanya sebatas cinta dua jenis yang berbeda, yaitu antara
laki-laki dan wanita. Yang hendak disimpulkan di sini ialah, jangan gegabah
menuduh orang lain sebagai manusia tanpa cinta. Sebab, cinta adalah fitrah yang
kebetulan di moment idul fitri ini kita harap kembali ada.