![]() |
Sumber: https://waromuhammad.blogspot.com/ |
Bila kita ditanyai orang, apa bukti cinta itu? Atau
pertanyaan spesifiknya, taruhlah seorang gadis yang menanyakan, apa bukti
cintamu padaku wahai anak muda? Apa jawabannya? Tentu sulit kita menjawabnya.
Mungkin hanya saya yang kesulitan. Yang pasti, soal
demikian berbeda dengan soal-soal dalam masailal yang diajarkan di
pengajian-pengajian. Soal-soal masailal itu sudah ada jawabannya dan bisa
dihafalkan. Sedangkan bukti cinta, bisakah tuan-tuan menjawabnya?
Dalam tulisan sebelumnya, ketika saya mengutip dan
mengedit seperlunya surat Wis (Saman) kepada ayahnya, sedikit banyaknya saya setuju
dengan keyakinan semacam itu. Sejauh ini, biarpun banyak orang menulisnya,
cinta tetap tak terangkum sepenuhnya oleh kata-kata.
Karena itu, tentu akan semakin sulit menjawab
pertanyaan semula; tentang bukti cinta. Sebab, cinta itu sendiri bukan konsep
yang bisa dijelaskan begitu saja, justru harus dirasakan. Dan orang-orang yang
merasakan cinta, biasanya sulit pula menerangkan perasaannya.
Mungkin, kita butuh seseorang yang pandai membuat
tafsir, tentunya juga sedang dirundung gelora cinta. Tapi pertanyaan
berikutnya, apakah bisa keadaan itu ada bersamaan? Dikatakan bahwa cinta
membuat orang kehilangan logikanya, lantas bagaimana ia menjelaskan?
Maka dari itu, segala penjelasan tentang atau terkait
dengan cinta tidak akan mewakili seluruh, tepatnya justru hanya sebagian kecil
dari cinta. Dengan begitu, mendasarkan cinta pada satu penjelasan saja akan
sangat lemah nilainya.
Pecinta lain akan dengan mudah membantah penjelasan
seseorang tentang cinta sekalipun ia dapat pula untuk dibantah. Dari situlah
mengapa cinta itu sendiri bukan untuk diklaim, apalagi klaim yang satu
menegasikan klaim orang lain.
Cinta, sekalipun ia dekat dan senantiasa ada, tetap
harus dicari dan dicapai. Posisi manusia, laki-laki dan perempuan, hanyalah
seperti musafir yang berasal dari Cinta, pergi karena Cinta, dan pulang untuk
Cinta. Semua gerak gerik mereka adalah dalam rangka mencintai.
Kembali ke persoalan awal, apa bukti cinta itu?
Pertanyaan ini akan menjebakmu pada makna cinta itu sendiri. Maka, sebagai
pecinta, kau harus mengenali cinta dan hal-hal yang serupa dengannya. Kau dapat
bertanya balik, apa definisi cinta yang tuan maksud? Bila dia tidak dapat
menjelaskan, maka kau akan punya dua pilihan:
Pertama, tidak menjawab pertanyaan itu. Kedua,
menjelaskan definisinya dan menunjukkan bukti cinta padanya. Pilihan kedua
tentu sangat berat, terlebih di hadapan wanita, atau wanita di hadapan lelaki.
Pertama-tama yang mesti dipahami adalah cinta tidak mendasarkan dirinya pada
hukum tertentu, sebagaimana perilaku mendasari dirinya pada hukum, atau bukti
pada alat bukti, atau alat bukti pada UU.
Cinta bekerja tidak dengan logika semacam itu. Cinta
adalah cinta. Maka apapun tentangnya, termasuk bukti cinta, haruslah
berdasarkan cinta itu sendiri. Dengan begitu, kau akan mengutarakan bukti-bukti
yang relevan dan diterima oleh cinta. Dan bukti pertama adalah pengakuan suka
rela bahwa kau benar mencintai. Pengakuan di bawah paksaan tidak dapat diterima
sekalipun ia relevan.
Kedua, kemauan yang diucapkan dengan mantap. Dalam
konteks ini tentu adalah kemauan menikahinya. Lantas sebagian orang akan
berkata, bukankah itu berarti cinta dikaitkan dengan hukum? Tidak. Sebab
kemauan yang menjadi dasar, bukan nikah. Nikah hanya sarana yang dalam sistem
kehidupan tentu akan selalu saling terkait satu dengan lainnya.
Ketiga, komitmen akan saling memberi rasa aman,
kenyamanan, kasih dan sayang, serta pembagian peran--bukan kewajiban dan hak.
Sekalipun kewajiban dan hak tidak dapat dinafikan, maka ia merupakan sudut
lain, sedangkan ini adalah sudut tersendiri dari kehidupan, yaitu cinta.
Masih banyak bukti-bukti lain dari cinta itu. Bukti
itu sangat terkait dengan konsep dan keadaan yang dialami si pecinta. Bicara
diterima tidaknya, ia tergantung pada yang dituju. Tapi, bila saling mencintai,
maka bukti yang satu dengan yang lainnya, sekalipun lemah dalam pandangan umum
akan tetap diterima. Sebab mereka yang berhak atas cinta mereka.
Sebagian orang mungkin mengira, kiranya tuan
mendasarkan beberapa bagian pada ayat-ayat al-Quran. Kita menjawab dugaan itu
dengan jujur; ya, sebab al-Quran adalah Kalam Cinta dan bukti cinta Yang Maha
Cinta kepada hamba yang dicintainya. Tapi kita menyadari bahwa ayat-ayatNya
terbagi menjadi dua; qauliyah dan kauniyah.
Namun demikian, sekali lagi ditegaskan bahwa soal
cinta, sekalipun al-Quran sebagai dasarnya, itu hanyalah upaya serius yang
dilakukan oleh para pecinta untuk meneguhkan cintanya. Sedangkan penjelasan
tentangnya, tetap saja bukan kebenaran (al-Quran) itu sendiri. Sedari awal
bahkan sudah dikatakan, lemah kiranya pandangan ini dijadikan dasar.
_______________________________________________________________________________