Kali ini tentang seseorang yang
dipaksa, dicocok-cocokin, dan terus dijodohin denganku. Tapi, ia juga
dijodohkan ke orang lain. Sampai akhirnya ia berkata, “Aku dijual oleh keluargaku
(Serdadu Majene) sendiri”. Gadis Sumatera berdarah Jawa itu disebut genit oleh
beberapa temannya. Emang terlihat demikian. Kami (bukan aku) punya foto-fotonya
yang “genit” itu. Ia dianggap waras justru ketika marah, bukan di saat senang. Parahkan?
Iya nggak sih?
Sebenarnya, ia memang sempat
dekat denganku. Tunggu dulu! Dekat di sini tetap dalam arti sahabat. Seperti
halnya Verra yang “r”nya bertasydid itu. Di awal-awal penempatan, di kota
Majene, kami pernah berdua menikmati sore di pelabuhan. Pantai yang jernih,
lukisan awan, perahu nelayan, dan semua yang ada di sekitar itu menjadi objek
yang bisa kami abadikan. Tentu, kami juga mengabadikan diri dengan berselfi.
Priena juga orang yang pernah
mengagumiku, meski beberapa jam di suatu hari. Ia pernah bilang, “Seneng deh
lihat Ariel hari ini. Always be what you are ya! Dan serius deh, ini bukan basa
basi. Ariel beneran keren hari ini”. Oke, aku terima pujiannya. Tapi, untuk
permintaannya agar aku menjadi diriku sendiri, emang selain menjadi diriku, apa
aku bisa jadi orang lain? Terus, kalau ternyata diriku buruk, masa harus
dipertahankan? He he he. Sudah, nggak perlu ditanggapi.
Persahabatan kami agak sedikit merenggang
karena “ego”. Perbedaan cara pandang yang mungkin akibat dari informasi yang
kami miliki, atau sekuragn-kurangnya karena dia dan aku yang tidak bisa saling
memahami menjadi faktor kerenggangan itu. Menurutku, dalam keadaan demikian
satu di antara kami mesti mengalah. Sayangnya, aku dan dia tetap mempertahankan
pendapat. Pertanyaan besarnya adalah, kenapa ke orang lain dia bisa klop
(menyatu) seperti halnya aku yang juga bisa nyambung dengan orang lain?
Ini sebuah pengakuan. Dengan pengakuan
ini semoga ia memaafkan. Aku pernah jahat ke dia. Alasannya hanya karena
jengkel selalu ditanya soal bus yang akan mengantar kami ke Makassar pasca
penempatan. Untuk kasus ini, Verra juga bilang ke aku bahwa perbuatanku itu
jahat. Kami ditugaskan (berdua) mengurusi soal transportasi. Aku ingin
mengurusnya jika urusanku sudah selesai. Karena terus bertanya, aku akhirnya sepakat
untuk ke kota bersamanya. Semestinya aku berkata, “Tunggu di jalan poros, nanti
kita pergi bareng ke Majene”. Tapi aku malah bilang, “Kita ketemuan di Majene
aja”.
Di hari itu, aku malah pergi
berdua dengan Verra. Dan itu semua karena aku begitu malas bertemu dia. Aku malas
ribut, apa lagi dimarahi. Beberapa kejengkelan sebenarnya sudah mulai ada saat
itu. Bahkan, ditugaskan dalam satu divisi itu bertujuan agar antara aku dan
Priena membaik. Tapi, jika dibilang hubungan kami buruk, menurutku tidak juga
demikian. Sejauh ini, aku merasa biasa dan nyaman saja dengannya. Justru ada
rindu pada kemarahannya; rindu pada dirinya saat normal, he he he.
Terakhir kali bertemu Priena di
nikahan Okky. Ketika itu dia tiba-tiba sakit. Tangan, kami, dan wajahnya kaku. Aku
tidak bisa mengobatinya. Di situ aku mencoba menghibur dengan beberapa candaan.
Tujuanku biar dia lebih tenang. Sebab, pikiran (menurut beberapa bacaanku) amat
mempengaruhi kesehatan. Dengan berfikir positif, maka kerja tubuh akan lebih
positif. Aku berhasil. Setidaknya dia tertawa lepas saat itu. Selebihnya,
hubungan kami sekarang hanya via WhatsApp. Itu juga seputar kopi. O iya, ngomong-ngomong,
dia termasuk orang yang juga suka kopi buatanku. Emang yang lain ada? Belum ada
yang ngaku sih, he he he.
Astaga, hampir lupa. Nama orang yang kuceritakan ini adalah Priena Mardiani Lestari. Senang bisa kenal dia. Tapi, mungkin musibah baginya bisa ketemu orang seperti aku. Sebab mereka (termasuk dia) adalah orang-orang pernah bertanya, mengapa ada orang seperti aku? Mesti ada lah hikmahnya. Sekurang-kurangnya, sabar kalian terlatih dengan tingkah lakuku.