Di
bulan ramadhan tahun lalu, seorang teman beragama Hindu turut berpuasa karena
ia berada di lingkungan teman-teman, siswa-siswi, dan masyarakat yang muslim.
Ia tahu bahwa itu tidak akan memberinya pahala menurut Islam. Ia tahu bahwa
masuk Islam adalah syarat yang akan menjadikan puasanya bermakna dan diterima.
Pada
saat yang sama, kami juga tidak merasa terganggu jika ia hendak makan dan minum
di depan kami. Beberapa kali aku bahkan memintanya untuk tidak puasa karena
kami memang
tidak akan bermasalah dengan itu. Pernah suatu saat ia tidak berpuasa. Tapi, ia
minta maaf dan pergi ke tempat yang tidak terlihat oleh orang-orang.
Di
tempat penugasannya, ia bahkan membangunkan siswa-siswinya untuk shalat subuh.
Beberapa dari anak didiknya ikut, tapi sebagian memilih untuk tetap terlelap
dalam tidur. Ia mengatakan, pernah ada murid yang ingin pindah agama. Tentu,
ini bukanlah hal yang bisa diputuskan oleh anak-anak. Dalam hal apa pun,
anak-anak tidak bisa diminta walau sekadar pendapatnya. Apa lagi keputusan
seperti ini.
Aku
teringat dengan siswa-siswi ayahku yang mayoritas beragama Kristen ketika
menginap beberapa hari di rumah kami untuk mengikuti UN. Salah seorang siswi
ingin menjadi anak ibuku dan masuk Islam. Memang ia yatim, tapi ia masih kecil.
Prinsipnya jelas bahwa semua orang berhak memilih dan menjalankan ibadah
menurut keyakinannya. Tapi, anak-anak tidak bisa membuat keputusan.
"Nanti,
jika sudah besar dan anak ibu yakin sama Islam, barulah boleh masuk
Islam," jelas mamaku. Mama kala itu berperan mengurusi makan, tidur,
mandi, dan memastikan semuanya baik baik saja. Ketika makan, mama meminta
mereka berdoa menurut keyakinan mereka (bukan menurut Islam). Tidak ada unsur
memanfaatkan situasi untuk menjadikan mereka mengikuti Islam. Persis seperti
yang dilakukan temanku tadi.
Demikianlah
hubungan yang harmonis itu. Karena saling tahu, saling memahami, maka tidak ada
pemanfaatan, pengecaman, menyalahkan, berbohong, dan tidak pula ada benci walau
sedikit. Tidak ada pemaksaan dalam agama. Bagi kita agama kita masing-masing.
Bagi mereka agama mereka. Demikian prinsipnya. Demikian pula Tuhan menciptakan
kita kepada perbedaan-perbedaan yang banyak jumlahnya.
Orang
yang tahu dan mengerti akan lebih toleran terhadap siapa pun. Jika kita punya
teman beragama Hindu (misalnya), maka saat mengajaknya makan, kita tidak akan
menyediakan daging sapi saja, melainkan kita akan menyediakan banyak menu
sajian.
Jika
teman kita muslim, maka kita tidak akan memberinya daging-daging dengan sembelihan
biasa. Kita membeli daging itu dari muslim yang menyembelih hewan dengan
"bismillah". Bahkan, wajan untuk memasak daging itu kita bedakan,
mana yang biasanya digunakan untuk memasak "babi" dan
mana yang biasanya untuk memasak ayam, ikan, dan daging halal lainnya.
Di
Salatiga, aku sempat menginap beberapa malam di rumahnya teman dari temanku.
Akhirnya, kami pun jadi berteman. Yang ingin kusampaikan tentangnya adalah, dia
sangat memahami Islam. Karena waktu shalat telah tiba, ia memberiku sajadah sambil
menunjuk arah kiblat. Sikap seperti ini hanya ada pada orang-orang yang berilmu
menurutku.
Bayangkan,
ia tidak hanya menyediakan sajadah. Ia juga tahu soal kiblat, bahkan selalu
membangunkan kami di waktu shubuh. Ia punya usaha yang mempekerjakan banyak
muslim. Di produk makanan dan minuman yang mereka olah, ia bahkan menempelkan
label halal yang ia dapatkan dari MUI.
Ayahnya
pernah berkata di meja makan waktu itu. Ayahnya berkata, "Saya tidak
percaya bahwa agama, agama apa pun itu, membuat orang jadi bertikai,
bermusuhan, dan saling serang". Aku setuju. Aku meyakini soal rahmatan
lil'alaminnya Islam. Mereka meyakini konsep cinta kasihnya Kristen. Jika kita
tanya, bagaimana mungkin dua konsep itu membuat kita saling bunuh, merusak
rumah ibadah, dan bermusuhan? Jawabannya jelas, kedua konsep itu tidak ada
hubungannya dengan kerusakan.
Kalau
kita benar-benar berilmu, maka sikap-sikap di atas akan benar-benar kita
lakukan. Manfaat dari sikap itu akan sangat terasa dimana kita akan hidup
rukun, tentram, dan bahagia. Seorang muslim tidak perlu lagi bertanya,
"Ini daging apa? Disembelih pakai bismillah nggak? Masaknya pakai wajan
yang digabung dengan Babi?"
Kalau
kita berilmu, maka kita juga tidak akan tersinggung dengan pertanyaan yang
seakan kita tidak tahu. Sebab nyatanya kita tahu haramnya babi dan kenajisannya
dalam Islam. Kita juga tahu soal sembelihan tanpa bismillah membuat hewan
sembelihan menjadi bangkai menurut Islam. Kita juga tahu bahwa sapi tidak
mungkin dimakan oleh teman kita yang Hindu.
Pengetahuan
membuat kita saling sayang. Ilmu membuat kita tahu harus berbuat apa, bagaimana
caranya, dan tidak akan menyinggung orang lain. Setidak tidaknya, kita akan
bersikap baik dan benar sebab hanya dengan sikap yang demikian pula kita ingin
diperlakukan. Sekali lagi, ilmu berbanding lurus dengan toleransi yang kita
berikan. Demikian kaedahnya.