Karena puncak-puncak kejayaan itu, haya ada di
jalan yang terjal. Apakah jalan terjal (mendaki) itu? Ia adalah jalan
pembebasan; jalan yang memerdekakan.
Merbabu, Haiking for Charity
Sempat
berpikir, ngapain susah-susah mendaki hanya untuk melihat-lihat pemandangan? Di
era sekarang, sesuatu yang mungkin tak akan kita kunjungi sekalipun dengan
mudah kita saksikan. Bahkan, kalau benar-benar ingin merasakan ketinggian,
begitu banyak tempat yang bisa ditempuh dengan kendaraan.
Tidak
dipungkiri bahwa itu juga menyenangkan. Beberapa kali aku juga melakukannya.
Aku berselancar di dunia maya dan melihat banyak tempat keren, termasuk yang
akan kudaki. Sesekali pergi ke tempat yang tinggi
mencicipi kopi seraya membebaskan pikiran menafsir keindahan alam. Ya,
pengalaman demikian juga asyik menurutku.
Berbeda
dengan pendakian. Keluh kesah yang dipertanyakan memang benar. Tapi
menganggapnya sia-sia, itu yang membuatku tidak setuju. Apa lagi pendakian
dianggap hanya untuk menyiksa diri. Orang-orang yang berpikir demikian mungkin
belum pernah mengalami, atau tidak dapat mengambil makna dari pendakian. Itulah
yang akan saya ulas sekarang.
Mendaki
itu perjalanan untuk mengasah peduli. Dengan mendaki, sebenarnya kita sedang
mempertajam kepekaan. Begitu banyak memang yang abai dengan ini. Tapi, itu
hanya facebooker's, pengguna path, atau orang-orang yang suka upload foto di
instagram. Kalau kata Ebi, mereka ini hanya pemburu liker's. Dunia virtuallah kebahagiaan
mereka. Sedangkan pendakian, ia nyata. Maka nyata pula bahagianya.
Dalam
pendakian, kita tentu lelah, haus, ingin rasanya dibantu. Tapi, yang terjadi
kita malah membantu, memberi air, membawa barang bawaan orang, menunggu teman,
dan itu semua kuanggap sebagai kepekaan. Dalam pendakian, kepedulianlah yang
membuat kita bisa sampai puncak.
Lebih
dari itu, kepekaan itu juga soal interaksi kita pada alam. Mendaki berarti
berkomitmen untuk tidak membuang sampah sembarangan. Kita memang membawanya ke
puncak, tapi akan kita bawa pulang hingga ke base camp. Kita peduli akan
kebersihannya. Kepekaan itu juga akan kita bawa setelah pendakian. Sedang
lelahnya, biarkan ia tertinggal di puncak sana.
Mendaki
dapat dimaknai sebagai perjalanan agar kita menjadi orang-orang yang peduli,
peka, bahkan di tengah kesusahan diri sendiri. Dengan begitu, pendaki itu
sendiri adalah mereka yang mau berbagi baik susah maupun senang--yang menurut
al-Quran merupakan ciri dari orang yang bertaqwa. Di suatu ayat dikatakan,
mereka ini disediakan syurga. Aku menambahnya, menurutku mereka bahkan diberi
syurga sebelum saatnya.
Saat
mendaki, kita sering mengagumi keindahan gunung lain. Seperti Merbabu yang kami
daki, maka Merapi merupakan pemandangan yang selalu menyihir tiap kali para Pendaki
berhenti. Puncak G. Lawu yang berada di atas lautan awan juga kerap melupakan
kami akan Merbabu yang sedang didaki.
Demikian
pendakian mengajarkanku. Aku tersadar akan realitas hidup. Di kehidupan, hal
yang sama sering terjadi. Rumput tetangga lebih indah menurut kita. Kita persis
seperti orang yang tidak bersyukur. Melihat indah di luar sana, lupa dengan
keindahan negeri sendiri. Memandang kagum capaian orang lain, sampai
merendahkan apa yang kita miliki. Padahal keduanya sama, sama-sama diberi Tuhan.
Di
puncak ini, aku juga belajar hal lain. Merapi yang terlihat tinggi di foto ini,
sebenarnya kulihat rendah. Puncak ini lebih tinggi kulihat dibanding Merapi.
Tidak hanya Merapi, gunung-gunung lain seakan begitu kecil dan tidak ada
apa-apanya dalam hal ketinggian. Aku teringat pada pendakian sebelumnya, di
mana aku merasakan hal yang sama.
Bukankah
ini tamsil nyata bagi kita? Bukankah kita sering melihat orang lain, agama
lain, suku lain, dan segala yang ada di luar kita begitu rendah? Apakah benar
demikian? Bagaimana mereka memandang kita? Saat aku di puncak A, aku melihat
rendah puncak B. Saat di puncak B, puncak A juga rendah ternyata. Ya, itu
karena kita melihat dari sudut yang jauh. Kita pakai perspektif kita untuk
menilai orang, bagaimana mungkin mereka lebih unggul?
Dari
pendakian, aku menyadari dua hal. Dua hal ini soal cara pandang. Pertama,
tentang kita yang tergiur indahnya puncak lain, sampai lupa dengan keindahan
puncak dimana kaki kita berdiri. Ini seperti orang yang ingin keluar sedang
orang di luar sana ingin masuk. Kedua, tentang kita yang memandang rendah orang
lain, sampai lupa bahwa demikian pula mereka yang jauh (baca: beda) memandang
kita.
Dari
pelajaran ini, teringat aku akan suatu ayat. Di sana dikatakan bahwa kita sama.
Hanya taqwa yang membedakan kita. Ayat qauliyah itu kurasakan kebenarannya, dan
persis seperti ayat kauniyah yang kualami (pelajari) dalam pendakian kali ini.
Bahwa Merapi itu indah, Merbabu indah, Lawu juga demikian, dan begitu pun
puncak lainnya. Datanglah! Buktikan teman!
Pilihlah
jalan yang terjal, mendaki, bukan jalan yang landai apa lagi menurun. Demikian
pesan pak Anies di waktu pelatihan dulu. "Itu alasannya mengapa aku
mendaki gunung dan menjauhi pantai," jelasku ke PM lain yang kebetulan
ikut dalam misi ini.
Tentu bukan mendaki
dalam arti harfiah maksudnya. Mendaki bisa saja di jalan yang padat kendaraan,
bahkan di jalan mulus sekalipun. Mendaki jalan yang terjal tak lain hanyalah
kiasan. Mendaki berarti memilih jalan yang menghantarkan kita pada puncak tujuan.
Mengapa
demikian? Karena puncak-puncak kejayaan itu hanya ada di jalan yang terjal. Di
jalan seperti ini para pejalan mesti mendaki, berusaha sepenuh hati, dan tak
nyerah pastinya. Pendakian mengajarkanku satu lagi tamsilan hidup. Jalannya
yang tinggi, menjelaskan kepadaku soal tujuan.
Teman,
puncak itu sungguh menyenangkan. Ia ibarat syurga yang mesti kita tempuh dengan
susah payah, berbuat baik, dan penuh ketaqwaan. Tapi, apakah lantas kita
dikecewakan? Tidak. Puncak ini saja cukup menebus lelahmu. Maka syurga, janji
pasti dari Tuhanmu, tentu memberimu lebih dari apa yang kau lakukan.
Ah,
tak mestipun sampai di puncak sana, maka perjalanan yang kutempuh sudah
membuatku senang. Puncak itu bonus. Masihkah ragu kau teman? Kau tahu apa yang
sekarang kurasa? Lelahku hilang, tertinggal di puncak sana. Sedangkan kenangan
manis terus terbawa bahkan dalam tidur, berupa mimpi yang membuat malam tak
lagi sepi.
Tulisan
ini didedikasikan untuk para Pendaki, kuhususnya tim Hiking For Charity.