Oleh: Khairil Akbar
Kullu mauludin
yuladu ‘ala al-fithrah
Setiap anak yang terlahir/dilahirkan atas fithrah
(dalam keadaan suci)
Muhammad Saw
Ungkapan
di atas mengawali tulisan saya kali ini. Ya, ungkapan di atas benar dan
memiliki makna yang sangat mendalam. Jika dimengerti, tentu stigma negative
yang muncul dari masyarakat takkan pernah terjadi. Namun istilah “anak haram”
kian melekat dan membudaya di Masyarakat kita yang justru jika merujuk pada
sumber agama maka kita takkan pernah mendapatkan istilah dosa orang tua bisa
diwarisi kepada anaknya. Berangkat dari problematika yang ada sekarang, maka
penulis—dengan kemampuan yang ada—kiranya akan mencoba memberi berbagai
pandangan solutif yang tentunya memiliki landasan dan analisis tersendiri.
Perlu kita ketahui bahwa di dunia hanya Adam yang tak punya Ibu dan Ayah dan Isa yang punya Ibu tapi tak punya ayah. Dengan demikian, mengapa di era yang modern dengan perkembangan pengetahuan dan pesatnya teknologi malah terdapat istilah bahwa si polan atau si polin tidak memiliki ayah? Dia anak haram? Dan sebagainya. Manusia kok dianggap hewan? Asumsi-asumsi kolot seperti ini kami pikir merupakan stigma negative yang harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan dan pri-keadilan. Tidak berpri-kemanusiaan jelas karena manusia tak dihormati juga tak dihargai. Senada dengan hal tersebut, menganggap anak tak punya hak karena terlahir di luar nikah juga tidak memiliki nilai keadilan. Ayah dan/atau Ibu berbuat dosa mengapa anak yang suci menanggung akibatnya? Tentunya tiada seorang pun di antara kita yang terima kondisi seperti ini.
Perlu kita ketahui bahwa di dunia hanya Adam yang tak punya Ibu dan Ayah dan Isa yang punya Ibu tapi tak punya ayah. Dengan demikian, mengapa di era yang modern dengan perkembangan pengetahuan dan pesatnya teknologi malah terdapat istilah bahwa si polan atau si polin tidak memiliki ayah? Dia anak haram? Dan sebagainya. Manusia kok dianggap hewan? Asumsi-asumsi kolot seperti ini kami pikir merupakan stigma negative yang harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan dan pri-keadilan. Tidak berpri-kemanusiaan jelas karena manusia tak dihormati juga tak dihargai. Senada dengan hal tersebut, menganggap anak tak punya hak karena terlahir di luar nikah juga tidak memiliki nilai keadilan. Ayah dan/atau Ibu berbuat dosa mengapa anak yang suci menanggung akibatnya? Tentunya tiada seorang pun di antara kita yang terima kondisi seperti ini.
Secara
yuridis, mengutip ungkapan Hamdan Zoelva ”Dalam
konstitusi hak anak dijamin untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Dan hak
anak untuk mendapatkan perlakuan yang adil”. Artinya, legal standing terhadap hak anak jelas diakui dan tertuang di dalam
UUD 45. Putusan MK terkait kasus Machicha atau ‘Aisyah Mochtar mengintruksikan
agar anak yang dilahirkan di luar nikah tidak diperlakukan secara
diskriminatif.
Secara
sosiologis, pengakuan terhadap hak di luar nikah ini pun sangat berefek
positif. Cita-cita hukum yang menyamakan manusia dihadapannya dan sesuai dengan
Wahyu Tuhan yang menyatakan kita ini adalah sama tentu terwujud. Asumsi-asumsi
dan pelecehan akan terminimalisir. Masyarakat akan kian menjaga ucapannya dan
hidup di atas kerukunan tanpa diskriminasi pun akan kita rasakan.
Secara
filosofis, pengakuan hak anak ternyata juga sesuai dengan Maqashid Syari’yah yang memelihara keturunan menjadi salah satu dari 5(lima) tujuan pokok
syari’ah (hukum). Nah, jika harus memaksakan kehendak, ternyata pengakuan hak
anak ini pun telah diperbincangkan sejak dulu.
Putusan MK terkait kasus Machicha alias ‘Aisyah Mochtar lebih cenderung
mendekati madzhab Hanafi. Tapi, penulis yakin bahwa ini bukan karena unsur
fanatisme madzhab, melainkan murni ijtihad dari MK yang Pak Mahfud MD sebagai
ketua tentu pakar tak terkecuali ahli juga dalam hukum Islam.
Selain
statusnya sebagai anak, perlu diketahui juga bahwa anak adalah manusia, dengan
demikian setiap manusia tentu punya hak dan kewajiban. Pasal 28 berbicara
keseluruhan “Hak Asasi Manusia” tersebut. Namun, kali ini, putaran masalah kita
hanyalah berbicara Hak Anak di luar nikah. Nah, tanpa adanya putusan MK
sebenarnya anak tetap memeiliki Hak dan itu disandarkan kepada Ibunya. Demi
keadilan, putusan MK seharunya didukung oleh semua element masyarakat tanpa
terkecuali. Karena bagaimana mungkin ketika pembuktian menyatakan benar sperma
yang bertemu ovum itu disangkal padahal secara ilmu pengetahuan dan teknologi
kita tidak bisa mengelak atas hal ini. Abu Hanifah berpendapat bahwa Ayah
Biologis mesti bertanggunng jawab kepada anak hasil hubungannya, dan putusan MK
terkait kasus Machicha adalah solusi yang tepat agar lelaki tak seenaknya
berbuat tapi tak mau bertanggung jawab.
Analogi
sederhana dari Bapak Mahfud MD adalah seperti sebuah kecelakaan. Seseorang yang
menabrak orang lain tentu harus menunaikan kewajibannya mengobati dan
sebagainya. Begitupun dengan orang yang ditabrak, orang ini memiliki hak atas
kelalaian si penabrak. Pengakuan hak yang penulis maksud bukanlah mengakui
bahwa si polan yang terlahir di luar nikah memiliki hubungan nasab terhadap ayahnya.
Melainkan sekedar agar lelaki yang telah berbuat mesti bertanggung jawab demi
terpenuhinya hak anak.
Penulis
adalah Valunteer KAPHA, Aktifis IMM, Wakil Ketua KP2A, dan juga merupakap
peserta Debat Konstitusi Nasional di MK, Jakarta. Berdomisili di Tibang, Banda
Aceh.