Tidak bisa dipungkiri bahwa ber-Islam mestilah menyerahkan seluruh
urusan hidup kita secara kaffah kedalamnya.
Karena Islam merupakan totalitas kehidupan. Terkait dengan politik, tentu pula
Islam berbicara tentang ini. Terlepas dari problem apa yang ditawarkan, pemikiran
yang beragam macam menunjukkan kekayaan Islam dengan khazanah keilmuannya. Dalam artikel ini kami hanya akan mengulas
sedikit tentang konsep Negara Indonesia dalam perspektif Islam dengan
menjadikan Aceh sebagai objek eksploitasi bahasan kami. Berangkat dari hal ini
perlu kami tegaskan terlebih dahulu bahwa Aceh bukanlah Negara, melainkan
sebuah provinsi yang memiliki berbagai kekhususan yang salah satunya merupakan
cita-cita dari sebuah Negara Islam itu
sendiri. Tentu penasaran bukan? Baiklah, sebagai pengantar kami mencoba
menguraikan Islam dan pandangan politiknya, kemudian Negara Indonesia yang
nantinya akan kami coba memberi analisis kami terhadap ini baru kemudian kami
masuk ke dalam inti masalah yaitu melihat fiqh
siyasah berkomentar tentang kondisi Aceh.
Islam
dan Politik ber-Negara
Dalam as-Siyasah asy-Syar’iyyah, Ibn Taimiyah menulis “Wilayah
(Oragnasasi Politik) bagi persoalan (kehidupan sosial) manusia merupakan
keperluan agama yang terpenting. Tanpa topangannya, agama tidak akan tegak
kokoh. dan karena Allah swt. mewajibkan kerja amar ma’ruf nahi munkar, dan menolong pihak yang teraniaya. Semua
yang Dia wajibkan tentang jihad, keadilan,
dan menegakkan hudud, tidak mungkin
sempurna kecuali dengan kekuatan dan kekuasaan.”[1]
Melirik ungkapan di atas, Negara
merupakan keniscayaan dalam penegakan syari’at Islam. Bahkan tak sedikit tokoh
Islam yang mewajibkan terbentuknya Negara. Hal ini wajar, karena sesuatu yang
wajib, maka sarana untuk mencapainya juga wajib. Analogi sederhananya adalah
titi untuk menyebrang merupakan perkara wajib dan harus ada jika kita ingin ke
sebrang sungai atau jurang. Syari’at Islam wajib ditegakkan dengan demikian
Negara sebagai lembaga yang memiliki kewajiban dan tugas-tugas tertentu—seperti
bahasan artikel-artikel sebelumnya—wajib dan mestilah ada. Adapun di Indonesia,
gerakan-gerakan pembentukan Negara Islam itu ada, namun pencapaiannya masih
belum sempurna. Beginilah Islam melihat eksistensi Negara dan urgensinya dalam
tujuan penegakan syari’at.
Indonesia
dalam Pandangan Politik Islam
Indonesia merupakan Negara dengan
penduduk mayoritas Muslim. Lalu mengapa Negara ini tidak sepenuhnya menetapkan
syari’at Islam? Tentu pertimbangan politik sangat menentukan arah perkembangan
Indonesia dalam lintasan sejarah. Misalnya saja alasan wilayah. Indoensia memiliki wilayah yang luas mulai dari Sabang
hingga ke Merauke. Ketika itu kondisi politik sangat memungkinkan terbentuknya
Negara Islam. Namun karena sebagian daerah tidak setuju dan jika terbentuk maka
daerah ini akan keluar dari kesatuan republik Indonesia. Atas dasar inilah berbagai
tokoh seperti Muhammad Nasir lebih cenderung untuk tidak membentuk Negara Islam
namun juga melihat kemungkinan besar hukum yang berlaku adalah hukum Islam.
Pertimbangan ini juga berdasarkan bahwa di daerah yang menolak terbentuknya
Negara Islam terdapat muslim dan jumlahnya juga banyak. Dan banyak
pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Pun demikian, usaha demi usaha telah
banyak dilakukan untuk tingkat nasional. Para pembaharu hukum Islam dalam
perjalanannya telah banyak memberi kontribusi positif terhadap konstitusi
Indonesia. Yang awalnya 13 kitab fiqh—kebanyakannya dari kalangan Syafi’i—kini
mulai beranjak kepada penggunaan berbagai metode seperti talfiq[2]
namun dengan memilih secara selektif
hukum apa yang cocok untuk kondisi ke-Indonesiaan saat itu. Hasbi ash-Shiddieqy
adalah orang pertama yang mengeluarkan gagasan agar fiqih yang diterapkan di
Indonesia harus berkepribadian Indonesia dan untuk mewujudkan hal itu maka
perlu dibuat kompilasih hokum Islam di Indonesia.[3]
Artinya adalah, perjuangan untuk membumikan syari’at Islam terus diperjuangkan
oleh para tokoh. Hal ini juga dilakukan oleh ormas-ormas Islam seperti
Muhammadiyah, NU, ICMI , Persis, al-Wasliyah dan sebagainya. Nah, jika melihat
upaya ini, maka kita akan berlaku moderat dengan tidak serta merta mengatakan
bahwa Indonesia telah salah karena memberlakukan hukum Belanda.
Konteks
Aceh Lintasan Sejarah
Setelah melihat fenomena di atas, maka
dalam kajian kali kami mencoba memberi fokus masalah dengan melihat konteks
Aceh. Jadi persoalan fiqh siyasah tentu
akan lebih menarik karena hal ini menurut kami agak sedikit baru dan hampir
luput dibicarakan—terutama di dalam kitab-kitab
fiqh siyasah—jika kita melihat Aceh yang merupakan provinsi dari sekian banyak
provinsi lainnya. Biasanya konsep-konsep yang diberikan adalah konsep Negara
bukan provinsi. Dan tentunya perlu usaha yang serius untuk mengkaitkan hal ini
dengan bahasan-bahasan fiqh siysah pada
umumnya. Nah, perlu kita ketahui bahwa Aceh dahulu memiliki corak pemerintahan
kerajaan yang juga ada dalam sistem pemerintahan Islam dan Aceh berlaku
syari’at Islam.
Jika merujuk kepada sejarah, Aceh
sebenarnya bukanlah provinsi yang berada di bawah pemerintahan Indonesia.
Kerajaan Aceh Darussalam sebagai bukti bahwa Aceh pernah menjadi Negara
berdaulat yang memiliki raja-raja dan ratu-ratu yang adil lagi bijaksana.
Pergeseran demi pergeseran, Aceh mulai bergejolak dengan berbagai peristiwa.
Namun landasan yang berperan dalam memotivasi perjuangan bangsa Aceh adalah
Islam. Jika harus berbentur antara Islam dan Aceh tentu orang Aceh akan memilih
Islam. Hal ini bisa terlihat dari perjuangan Ali Mughayat Syah yang memerangi
Portugis, Iskandar Muda yang merajam putranya demi tegaknya hukum Islam dan
Sultan Muhammad Daud Syah yang ditawari jabatan asalkan tidak memerangi Belanda
namun beliau menolaknya.
Pada periode sesudah kerajaan,
perjuangan masih terus dalam rangka menegakkan syari’at Islam. Dalam bukunya Aceh dan Inisiatif NKRI, bapak
Hasanuddin Yusuf Adan menegaskan bahwa “Teungku
Muhammad Daud Beureueh yang menjabat Gubernur Militer untuk wilayah Aceh,
Langkat dan Tanah Karo diajak untuk mendirikan Negara Sumatera atau Negara Aceh
oleh kaki tangan Belanda, Teungku Mansyur sebagai Wali Negara Sumatera Timur
buatan Belanda, beliau menolaknya karena bergabung dengan mereka berarti
bersekutu dengan kafir yang tengah beliau perangi pada masa itu, padahal kalau
beliau mendirikan Negara Aceh dengan bantuan Belanda sangat memungkinkan ketika
itu.[4]
Dan politik inilah yang sebenarnya diinginkan oleh siyasah syar’iiyah yang oleh Ibn Taimiyah memberi tujuan dari
politik tak lain adalah untuk penegakan syari’at Islam. Dengan demikian kesejahteraan
akan melimpah karena hukum yang adil tegak di muka bumi ini.
Untuk melihat konsep Negara Islam,
beliau menambahkan “Tidak tertera secara
gamblang konsep dan model Negara dalam al-Qur’an maka yang menjadi rujukan
penting penubuhan sesuatu Negara adalah model Negara Madinah.”[5]
Dalam hal ini beliau hanya menyinggung Indonesia dan tidak menyebut-nyebut
Aceh. Beliau menegaskan bahwa Indonesia tidaklah sama dengan Madinah karena
hukum yang berlaku jelas berbeda. Penekanan subtansi terlihat jelas dalam hal
ini, yang menjadi patokan Negara Islam menurut beliau adalah Negara yang
menjalankan prinsip-prinsip Islam yang baku, terkecuali pada problem yang
membutuhkan ijma’, qiyas dan ijtihad saja. Namun hal ini tidak serta merta
mengecam Aceh. Secara pelaksanaan Aceh justru terus-terusan berjuang dalam
rangka membumikan syari’at Islam.
Aceh
dan Syari’at Islam
Setelah berbagai perlawanan yang
dilakukan oleh Daud Bereueh, Aceh akhirnya diberikan kewenangan untuk
menjalankan syari’at Islam dibawah kewenangan pemerintah daerah. Pergeseran
Gubernur ketika itu malah membunuh semangat syari’at Islam. Tergesernya Hasby
karena PUSA-nya juga merupakan faktor utama dari masalah ini. Muzakkir walad sebagai pengganti Hasby Wahidy
mulai berpindah haluan dan tidak pernah lagi menyinggung syari’at Islam dalam
kebijakannya. Sentralisasi kebijakan pusat setelah Soeharto berkuasa kian
menambah gejolak ini. Ini pula awal mula benih GAM muncul. Hasan Tiro ketika
itu sebagai pioner gerakan ini juga diadu dengan para Ulama tradisional yang
dibentuk oleh pusat dengan sebuatan MUI. Namun semangat perjuangan tak kunjung
usai hingga masa reformasi.
Reformasi juga membuka jalan bagi
masyarakat Aceh untuk kembali menuntut pemberlakuan syari’at Islam, sesuai
dengan keistimewaan Aceh, atau bahkan referendum. Dalam kenyataannya, tuntutan
referendum bagi Aceh mendominasi tuntutan pemberlakuan syari’at Islam. Pada 13
Januari 1999, Angkatan Intelektual Darussalam mengeluarkan pernyataan politik
yang menghimmbau dilaksanakannya referendum di Aceh untuk menyelesaikan
konflik. Demikian pula tuntutan yang sama diajukan berdasarkan hasil kongres
mahasiswa dan pemuda Aceh serantau yang diadakan di Banda Aceh pada 31
januari-4 februari 1999. Tuntutan-tuntutan semacam ini barangkali diilhami oleh
keberhasilan referendum di Timor-Timor, yang merupakan bekas provinsi RI itu
menjadi Negara merdeka.[6]
Pasca MoU—karena referendum tidak
memerdekakan Aceh dari Indonesia—Aceh melahirkan UUPA sebagai cerminan dari
keberhasilan MoU. UUPA member corak baru bahwa Aceh bagaikan sebuah Negara
berdaulat dengan kewenangan yang jauh berbeda dengan provinsi-provinsi lainnya.
Namun, realitanya ke-kaffah-an syari’at
Islam belumlah sempurna. Secara institusional saja terlalu banyak kinerja yang
tumpah tindih kewenangan. Coba bayangkan, jika syari’at Islam secara kaffah berlaku di Aceh untuk apa ada
Polisi Negara jika telah ada WH? Untuk apa ada Pengadilan Negeri jika ada
Mahkamah Syar’iiyyah? Untuk apa MPU jika ada DPRA? Lembaga-lembaga seperti
inilah yang perlu diperbaiki kerangkanya agar Islam di Aceh benar-benar kaffah dan kita menyerahkan totalitas
kehidupan kita kepada Islam kita.
Demikianlah artikel ini kami sampaikan
pada perkuliahan Fiqh Siyasah yang
dibimbing oleh Bapak Bukhari, mohon maaf atas segala kekurangan. Wassalam.
END NOTES
[1] Ahmad
Syafi’I Ma’arif, Islam dan Politik, Gema
Insani Press: 1996, Jakarta, hlm.180
[2]
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di
Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada: 2006, Jakarta, hlm.252
[3] Ibid, hlm.251
[4]
Hasanuddin Yusuf Adan, Aceh dan Inisiatif
NKRI, Adnin Fondation Publisher: 2010, Banda Aceh, hlm.13
[5]
Hasanuddin Yusuf Adan, Elemen-Elemen
Politik Islam, ar-Raniry Press: 2006, Banda Aceh, hlm.25
[6]
Taufiq Adnan Amal dan Samsul Rizal Panggabean, Politik Syari’at Islam, Pustaka Alvabet: 2004, Jakarta, hlm.25