![]() |
Sumber: https://alquranmulia.files.wordpress.com/ |
TERJEMAH DALIL
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af
dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka
baginya siksa yang sangat pedih (178).
Dan dalam
qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa (179).
ARTI PERKATA
Kutiba artinya wajib atau mesti dilakukan.
Al-qishash seumpama atau mengikuti dari apa yang telah diperbuat.
Al-hurru berarti budak.
‘Ufiya berasal dari kata ‘ậfa maksudnya adalah memaafkan dalam
bentuk majhul berarti dimaafkan.
Uli al-bậb yaitu orang-orang yang berfikir.
‘Itada berpaling atau mengingkari hukum.
Takhfif maknanya adalah keringanan.
ASBAB AN-NUZUL
Ibnu Abi
Hatim meriwayatkan dari Sa’id ibnuz-Zubair, dia berkata, “Pada masa jahiliyyah,
penduduk dua perkampungan Arab pernah berperang karena sesuatu yang sepele. Dan
diantara mereka banyak yang mati terluka. Namun ketika mereka membunuh
budak-budak dan para wanita, mereka tidak mempermasalahkannya hingga mereka
masuk Islam.
Ketika itu salah satu perkampungan mempunyai persenjataan dan
harta yang lebih banyak dibanding dengan kapung lain. Mereka bersumpah bahwa
apabila budak mereka terbunuh, mereka akan menganggap impas jika mereka telah
membunuh orang merdeka dari pihak pembunuh. Maka turunlah firman Allah pada
mereka yang menyatakan bahwa orang merdeka dihukum dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba, wanita dengan wanita.”[1].
HUKUM YANG TERKANDUNG
Kandungan
hukum ayat yang berbicara tentang qishash ini dapat kita
rincikan dalam poin beikut:
- Diwajibkan qishash dalam perkara pembunuhan bukan pada masalah lain
- Adanya kesetaraan dalam pemberlakuan qishash
- Qishash bisa tidak dilaksanakan bila pembunuh mendapat pemaafan dari ahli/wali yang terbunuh
- Wajib mengikuti proses secara baik
- Azab Allah akan dikenakan bila adanya pengingkaran dari pembunuh setelah dimaafkan
- Adanya jaminan keniscayaan keberlangsungan hidup dalam pemberlakuan qishash.
PENJELASAN
Ketentuan Umum
Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan,
bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu
dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan
baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh
hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya.
Bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh
yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka
terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang
pedih.
Dalam hadits
kata qishash kadang-kadang disebut dengan kata qawad yang
maksudnya adlaah semisal. Abdul Qadir Audah memberi defenisi bahwa “Qishash
adalah keseimbangan atau pembalasan terhadap si pelaku tindak pidana dengan
sesuatu yang seimbang dari apa yang telah diperbuatnya”[2].
Defenisi
inilah yang kiranya dimaksudkan syara’ sebagai hukum yang terbaik karena
mencerminkan keadilan. Dengan demikian pelaku akan mendapat hukuman yang
setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukannya kepada orang lain.
Qishash merupakan hukuman pokok bagi perbuatan pidana dengan objek (sasaran) jiwa
atau anggota badan yang dilakukan dengan sengaja, seperti membunuh, melukai,
menghilangkan anggota badan dengan sengaja[3].
Tetapi kalau keluarga teraniaya ingin memaafkan dengan menggugurkan sanksi itu,
dan menggantinya dengan tebusan, maka itu dapat dibenarkan[4].
Di sini terlihat bahwa agama tidak memaksakan pemaafan, hal ini karena sifat
pemaksaan sebenarnya akan menimbulkan dampak buruk. Sementara pemaafan itu
sendiri bisa dibenarkan bahkan terpuji.
Pemberlakuan qishash antara
lain adalah bertujuan untuk memelihara jiwa dan ini merupakan tujuan yang sinkron atau
memiliki munasabah yang erat kaitannya dengan HAM. Dengan
demikian sebagai hukum yang baik hukum Islam sudah terlebih dahulu melakukan
tindakan prefentif atau antisipasi dengan berlakunya larangan
pembunuhan (QS. 17: 33) agar manusia dapat mempertahankan kemaslahatan
hidupnya. Hal ini terlihat dari uangkapan M. Daud Ali “Pemeliharaan
jiwa merupakan tujuan kedua ─setelah agama─ hukum Islam”[5].
Kemudian,
setelah perintah qishash diperintahkan sebagai
upayapemeliharaan jiwa lanjutan ayat ini membawa kita kepada pemahaman bahwa
semua semua manusia itu sama dimata hukum. Dan bila kita kembali pada
defenisi qishash maka kita akan menemukan makna qishash antara
lain adalah persamaan. Namun bukan berarti pernyataan ini didukung oleh semua
kalangan ulama. Dalam hal ini minimal para ulama terpecah dalam dua kelompok.
Kelompok itu terlihat jelas dalam tulisan Jabbar Sabil dkk berikut “Secara
umum, kelompok pertama terdiri dari kebanyakan ulama kalangan Mậlikiyyah, Syậfi’iyyah
dan Hanbaliyyah yang mensyaratkan adanya kesetaraan dalam keberlakuan qishash.
Kelompok kedua adalah ulama kalangan Hadafiyyah yang melihatt kesetaraan dalam
konteks kemanusiaan sehingga tidak mensyaratkan kesetaraan dalam hal agama dan
kemerdekaan”[6].
Adapun
mengenai kesetaraan yang dimaksud dapat dirincikan menjadi empat pengelompokan,
yaitu:
Pertama: Kesetaraan antara muslim dan
nonmuslim. Hal ini dapat dijumpai pada HR. Bukhari yang menjelaskan bahwa
tidak adanya ketentuan dalam al-Qur’an tentang “tidak diqishashnya
seorang muslim karena membunuh seorang kafir”[7]. Ketentuan
ini mengisyaratkan bahwa adanya kesetaraan yang mengharuskan qishash juga
diberlakukan kepada muslim yang membunuh kafir.
Kedua: Kesetaraan orang merdeka dengan
budak. Kalangan Syậfi’iyyah memandang kesetaraan ini berbeda dan kurang tepat
karena kesetaraan itu justru membedakan antara seorang merdeka dengan
budak. Al-hurruu bi al-hurri yang mereka syaratkan sebagai
kesetaraan dalam pemberlakuan qishash membawa pengertian
bahwa seorang merdeka tidak diqishash karena membunuh budak.
Ketidakadilan ini ditentang oleh Hanafiyyah dan kini menjadi patokan ulama
modern seperti ‘Ali al-Shậbuni yang memberi dukungannya dengan pernyataan
bahwa pendapat hanafiyyah dapat diterima dan sesuai dengan hadits nabi
Saw. “Man qatala ‘abdah, qatalnậ.” Bila pemahaman kita
terfokus pada pertentangan ini, maka pendapat Hanafiyah akan terkalahkan karena
Qur’an merupakan supremasi hukum tertinggi. Di sinilah salah satu letak
urgensitas ‘ilmu munasab fi ‘ulum al-Qur’an wa al-Hadits yang
akan memberi solusi dan titik terang bahwa Qur’an dan Sunnah itu sejalan dan
tidak bertentangan.
Ketiga: Kesetaraan antara laki-laki
dengan wanita. Anehnya, bila pada masalah antara budak dengan orang yang
merdeka kalangan Syafi’iyyah memegang ayat diatas, mengapa pada kasus kali ini
mesti sepaham dengan ulama dari kalangan Hanafiyyah? Tidak hanya antara dua
ulama kharismatik ini, kiranya semua ulama sependapat pada kesetaraan antara
laki-laki dengan wanita namun mereka akan berbeda pada masalah diyật.
Al-Jassas
berpendapat bahwa qishash adalah ketetapan Allah yang
tidak boleh ditambah secara bersamaan dengan diyật sementara
yang lain dari kalangan yang berbeda lebih cendrung memberlakukan diyật dalam
kasus ini dan diyật perempuan adalah setengah dari diyật laki-laki.
Keempat: Kesetaraan antara dari segi
jumlah. Al-Qudậmah berpendapat bahwa sekelompok orang yang membunuh satu orang
dikenakan qishash. Kecuali yang berbeda sikap dalam hal ini
adalah Dawq dan pengikut Zậhiri. Ada pula pendapat yang meriwayatkan bahwa
pendapat yang sama jugga dipegang oleh Jậbir[8].
Selalnjutnya,
pengingkaran terhadap ketentuan ini akan mendapat azab yang pedih dari Allah
‘azza wa jalla. Barang siapa yang mengingkari setelah itu ─setelah proses diqishash atau
tidak, atau proses diyật bila dimaafkan yang mengharuskan kita untuk
mengikutinya dengan cara yang baik─ maka bagi ─si pengingkar─ azab yang pedih. Namun proses hukum dunia tetap
diupayakan semaksimal mungkin tanpa menyerahkan bulat-bulat urusan ini pada
pengadilan akhirat.
Hikmah Pemberlakuan Qishash
Memang pada
penjelesan sebelumnya sudah disinggung sedikit banyaknya tentang
hikmah qishash ditegakkan. Pada diskursus ini penulis hanya
ingin memperjelas dari kemujmalan penjelasan diatas terhadap
hikmah pemberlakuan qishash ini. Banyak yang berbicara tentang
ini. Alangkah baiknya bila banyaknya pendapat itu penulis satukan dalam poin
ini sebagai walau kurang memadai untuk dijadikan bahan untuk memperluas
wawasan, namun mungkin akan memberi kepada kita sedikit pemahaman tentang
hikmah dari hukuman qishash.
Adapun
hikmah di balik pemberlakuan qishash yang berupa hukuman mati
adalah untuk menegakkan keadilan diantara manusia. Supaya suatu pembalasan
sesuai dengan amal perbuatan. Apabila seorang pembunuh tidak dibunuh, maka akan
menyulut api kedengkian dalam diri keluarga orang yang terbunuh atau waali
terbunuh. Sebab darah orang yang dibunuh adalah hak dari keluarganya atau
walinya[9]. Jenis hukuman ini juga merupakan solusi yang didalamnya ─qishash─ terdapat upaya untuk menengahi
masalah.
Syari’at qishash merupakan
tindakan antisipasi dalam menghindari tindak pidana pembunuhan sebab orang akan
berfikir dua kali untuk melakukan pembunuhan apabila dia ingat konsekuensi yang
akan dideritanya[10]. Dengan demikian terjagalah jiwa/nyawa seseorang dari ancaman yang menghilangkan
salah satu dari hak-hak dasar (HAM) sebagaimana firman Allah:
Dan dalam
qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa (QS. 1: 179).
Ayat ini
memberi jawaban kongkrit dan logis. Menurut penulis sangat memenuhi syarat
ilmiah yang pembuktian bisa dipastikan tidak akan melenceng dari teori sebab
akibat. Pemberlakuan qishash memang bukan jalan satu-satunya
hukum dalam perkara pembunuhan. Bahkan disebutkan bahwa pemaafan itu jauh lebih
mulia seperti yang diisyaratkan Quraish Shihab yang memuji perbuatan ini
pada kitab tafsir karangannya. Memang benar, tetapi penulis cendrung bila
hukuman qishash tidak ditegakkan maka keniscayaan adanya
jaminan kelangsungan hidup menjadi harapan dan hukum Islam jauh dari sifat
pengharapan.
Quraish
Shihab mengatakan “Bisa jadi hikmah tidak dipahami oleh semua
orang tetapi mereka yang memiliki akal yang jernih dan menggunakannya, pasti
akan tahu”[11]. Pernyataan
ini seiring dengan seruan Allah pada ujung ayat ini. Dari panjang lebar
penjelasan ini, dapat kita pahami bahwa qishash bukan sekedar
aturan, tetapi qishash memberi seseorang bahkan semua manusia
akan haknya untuk kelayakan hidup di bumi Allah Swt. Semoga kita berfikir.
KESIMPULAN
Dapat
disimpulkan bahwa qishash dari segi bahasa adalah
semisal/serupa. Adapun menurut syara’ qishash adalah
keseimbangan atau pembalasan terhadap si pelaku tindak pidana dengan sesuatu
yang seimbang dari apa yang telah diperbuatnya. Hukuman qishash ini
wajib hukumnya terkecuali si pembunuh mendapat pemaafan dari ahli/wali
siterbunuh dan pembbunuh wajib mengikutinya dengan baik tanpa adanya
pembangkangan atau sikap tidak mengindahkan ketentuan/hukum.
Qishash harus mengandung empat unsur berikut: 1. Kesetaraan antara muslim dan nonmuslim; 2. Kesetaraan orang merdeka dengan budak; 3. Kesetaraan antara laki-laki dengan wanita; 4. Kesetaraan antara dari segi jumlah. Demikianlah materi ini disajikan seadanya. Thank and best regards.
END NOTES/CATATAN AKHIR
[1] Jalaluddin as-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, (terj),
Tim Abdul Hayyie, dari judul asli, Lubaabun Nuquul Fii Asbaabin
Nuzul, (Jakarta: Gema Insasni, 2008), hlm.67
[9] Syeikh Ali Ahmad al-Jarjawi, Indahnya Syari’at Islam, (terj.)
Faisal Saleh, dkk, dari judul asli, Hikmah at-Tasyri’ wa
Falsafatuh, (Jakarta: Gema Insan, 2006), cet. 1.hlm.621